Internet merupakan dunia luas yang menyimpan banyak hal dapat kita nikmati. Namun, perlu diperhatikan jangan sampai masyarakat mengkonsumsi konten negatif.
Konten negatif merupakan informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, hinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian bagi penggunanya ini menurut Undang undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dani Aidil Rismayadi Wakil ketua I Sekolah Tinggi Teknologi Bandung menjelaskan, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian, permusuhan berdasarkan suku agama ras dan golongan. Ada beberapa jenis dari konten negatif yang beredar di sosial media yang pertama ini adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu.
Contoh informasi yang sengaja dibuat berita bohong yang tidak memiliki landasan faktual tapi disajikan seolah-olah sebagai serangan fakta. Contohnya, di sini ada berita-berita yang dikemas atau misleading konten. Pernah ada judul berita, ketika belajar tetap muka resmi anak-anak wajib awan test sebelum berangkat ke sekolah. Itu adalah berita yang sebetulnya tidak benar.
Mengapa kita mengira suatu berita hoaks itu bukan hoaks? Ada penelitian menarik yang dilakukan oleh masyarakat Telematika tahun 2019.
“Terkadang kita menganggap suatu berita itu bukan hoaks kalau itu kita dapatkan dari orang yang kita percaya. Contohnya di grup WhatsApp nih ada yang nge-share salah satu anggota keluarga tentang suatu berita. Kita bukan melihat isi pada berita itu, tapi orang yang menyebarkan. Orang yang kita percaya sehingga langsung saja percaya mentah mentah menganggap bahwa berita itu benar,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (31/10/2021).
Maka, sekarang kita harus lebih hati-hati lagi, meskipun yang menyebarkan informasi adalah orang yang kredibel. Kita harus melihat apa isi informasi bukan siapa yang membagikan.
Informasi yang diterima pun harus selalu cek dan ricek lagi kebenarannya. Sebab, kata-kata dan apa yang disampaikan informasi itu kerap sangat meyakinkan. Biasanya dikemas menggunakan kata-kata bombastis, kata-kata yang luar biasa yang dapat meyakinkan pembaca. Tetapi terkadang jika terlalu bombastis kita harus mulai curiga apakah benar ini benar atau tidak.
Penyebab lain, karena pemilihan politik, jika ada salah satu pihak partai politik yang menyudutkan partai politik lain biasanya ini akan menjadi bias. “Kita akan menanyakan ke diri kita sendiri, apakah ini benar. Intinya, tidak baik suka atau benci berlebihan. Kita di dunia digital ini sekarang harus sangat berhati-hati jangan sampai kita menjadi korban adu domba,” ungkapnya.
Jangan sampai, kita terbawa ujaran kebencian, apalagi ketika ini menyangkut seorang tokoh yang kita tidak suka akan mudah sekali emosi kita terbakar. Terbakar sehingga kita terbawa oleh kebencian dan turut menyebarkan jadi sangat berhati-hati, kendala-kendala yang menyebabkan kita yakin bahwa berita ini bukan hoaks padahal hoaks.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Andi Astrid Kaulika (Merchandiser Analyst), dr. Katherine (Praktisi Kesehatan), Evan Samuel (Digital Marketing Specialist), dan Isnaini Arsyad sebagai Key Opinion Leader.