Pedoman bangsa Indonesia yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika ini tidak hanya dapat diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Pancasila bisa juga dijalankan di ruang digital untuk menjaga keharmonisan, keamanan dan kenyamanan sesama pengguna.
Rissa Raudhatul Jannah, Guru Sama Doa Bangsa, Kabupaten Sukabumi mengatakan, jika kita tidak menjalankan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital. Pengguna digital itu tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segresi sosial atau perpecahan di ruang digital.
Berdasarkan data APJII 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 196 juta orang. Angka ini didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z sebagai representasi generasi digital native.
“Namun masih banyak juga yang di ruang digital ini tidak mampu memahami batasannya sehingga mereka menjadi baper sebanyak 70%. Baper atau bawa perasaan dalam bahasa anak zaman sekarang ini seseorang yang dalam postingannya selalu menyindir atau juga merasa dizolimi oleh orang. Padahal sudah seharusnya ketika kita di ruang digital, jangan terlalu serius sehingga dapat terbawa perasaan,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Senin (01/11/2021).
Dampak lainnya tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Sosok terkenal bukan berarti mereka tidak memiliki privasi bahkan hak untuk hidup tenang. Banyak kasus, tokoh atau artis ketika pilihannya berbeda dari masyarakat, mereka di-bully padahal kita hidup di negara demokrasi yang sangat terbuka terhadap apapun dan tidak memaksa pilihan orang lain.
Tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi dan malinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah namun tidak sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan. Disinformasi yaitu informasi yang salah dan sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan sedangkan mall-informasi itu peristiwa yang benar terjadi namun digunakan untuk menimbulkan kekacauan.
Maka kita harus bisa mengenali konten dengan melihat koneksi yang salah misalnya konten dengan gambar dan judul isinya tidak saling mendukung juga ada konten satir tidak ada niat untuk merugikan tapi berpotensi untuk menipu koneksi yang menyesatkan yaitu informasi sesat yang dipakai untuk membingkai sesuatu atau orang tertentu.
Jangan sampai kita tidak mengamalkan Pancasila di ruang digital, sebab dampak-dampak yang disebutkan tadi dapat terjadi.
“Maka dari itu kita harus mengamalkan Pancasila di ruang digital seperti berpikir kritis tidak mudah percaya dengan informasi yang datang. Periksa kebenaran ia kembali dan jika penting dan mendesak dapat disebar kepada orang lain. Lalu dari Pancasila juga kita bisa belajar kita tidak boleh memutuskan silaturahmi walaupun di media sosial kita bertentangan secara pendapat atau pandangan juga pilihan tapi mereka tetap saudara kita apalagi dengan netizen sesama Indonesia,” ungkapnya.
Tidak memutuskan silaturahmi itu maksudnya adalah tidak langsung melakukan block atau unriend terhadap seseorang yang berbeda pendapat dengan kita. Jika di media sosial kita hanya terdiri dari orang-orang yang sependapat dengan kita khawatirnya adalah pikiran kita menjadi tertutup dan mudah sekali didoktrinasi oleh pemahaman-pemahaman tertentu. Oleh karena itu kita harus gotong royong untuk berkolaborasi berkampanye literasi digital agar kita semua sebagai pengguna digital ini bisa menjadi netizen yang lebih baik lagi dan mengamalkan Pancasila seperti kita mengamalkan Pancasila di dunia nyata.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Al Akbar Rahmadillah (Founder Sobat Cyber Indonesia), Esa Firmansyah (Relawan TIK Indonesia), Oktavian Jasmine (Entrepreneur), dan Diza Gondo sebagai Key Opinion Leader.