Masyarakat digital atau bisa disebut juga masyarakat jejaring adalah masyarakat yang struktur sosialnya adalah jejaring teknologi mikro elektronik berbasis informasi digital dan teknologi komunikasi.
Kita sudah masuk di era digital yang secara tidak langsung seperti dipakai akibat pandemi. Walaupun sudah menjadi keseharian dan kebiasaan tetapi ada sebuah tantangan lain yang dihadapi oleh para masyarakat digital yaitu adalah perilaku dari manusia itu sendiri.
Lia Kamelia, dosen Teknik Elektro UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjelaskan, perilaku yang dimaksud seperti, bagaimana para pengguna internet itu membagikan informasi secara bebas, penggunaan pencarian digital yang sembarangan. Tidak menjaga data pribadi sehingga banyak akun media sosial yang di-hack.
Lantas Bagaimana caranya supaya perilaku pengguna digital ini tidak menghambat pengguna yang lain. Caranya yakni berinteraksi sesuai dengan budaya Indonesia yaitu perilaku yang biasa kita kenal sedari kecil sesuai etika dan norma yang diajarkan orangtua. Bagaimana saling menghormati itu menjadi kunci.
“Bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain di ruang digital. Meskipun tidak bertatap langsung, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar supaya tidak menyinggung antarsuku. saat berkomentar pun bukan hal-hal yang menyangkut sensitif seperti SARA, ras, agama dan lainnya,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (02/11/2021).
Karena Indonesia negara yang beragam menjawab tantangan di ruang digital yakni dengan hidup harmonisasi antarumat beragama. Saling menghargai dan menghormati isi atau konten di media digital. Seseorang berhak untuk menyebarkan pemahamannya, perayaan keagamaan atau yang menyangkut dengan ajaran agamanya di media digital.
Pengetahuan dan pengalaman multikultural harus terus diasah oleh para pengguna digital agar dapat hidup berdampingan satu sama lain. Pendidikan mengenai itu dipegang yang utama diajarkan di sekolah dan di rumah.
“Bagaimana orang tua dapat memberikan pemahaman mengenai perbedaan, dimulai tidak membeda-bedakan teman dan juga saling menghormati dengan tetangga yang berbeda ada suku agama ataupun yang lainnya. Para guru pun juga harus memberikan informasi mengenai toleransi dan keberagaman agar siswanya dapat saling menjaga keberagaman ini di sekolah maupun di luar sekolah,” jelasnya.
Pembumian multikulturalisme habit di dalam kehidupan sehari-hari. Seperti beda pendapat, beda pilihan hingga gaya hidup semua harus disadari oleh masyarakat digital yang pengajaran ini dilakukan di rumah dan sekolah. Guru dan orang tua harus menjadi teladan mengenai multikulturalisme ini jangan sampai guru atau orang tua malah memberikan contoh intoleran ataupun tidak bisa menerima perbedaan yang lainnya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Asep Kambali (Founder Historia Indonesia), Ismita Saputri (Podcaster, Entrepreneur), Rabindra Soewardana (Direktur Radio Oz Bali), dan Vania Almira sebagai Key Opinion Leader.