Konteks budaya digital itu nyatanya sangat terkait dengan empat pilar kebangsaan. Bagaimana kemudian budaya yang kita pahami ini sebagai budaya baru. Kalau dalam teori budaya ada yang disebut dengan asimilasi. Bagaimana percampuran budaya baru dengan budaya yang ada kemudian menghasilkan budaya baru.
Abdul Muhyi, aktivis kepemudaan juga menjelaskan, kebudayaan itu bisa juga menjadi sebuah akulturasi, bagaimana percampuran antara budaya baru yang datang dengan budaya yang sudah ada tetapi tidak meninggalkan budaya lama. Jadi, budaya digital ini masuk dalam asimilasi atau akulturasi yang mana? Internalisasi nilai-nilai dalam empat pilar kebangsaan ada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks akademi, apakah kemudian keempat nilai ini masuk kepada ideologi pendidikan, ideologi teori, ideologi cara berpikir masyarakat hari ini khususnya yang menggunakan akses internet. Apakah asimilasi budaya dengan asimilasi budaya yang ada? Bagaimana implementasi nilai dari keempat ini kemudian sesuai dengan budaya bangsa kita?
“Contohnya, masih banyak mahasiswa yang tidak hafal dengan Pancasila serta UUD 1945. Artinya pergeseran ini apakah kemudian sudah mengandung nilai-nilai kebangsaan atau tidak. Bagaimana potret anak sekolah, mahasiswa dan para pendidik memahami budaya digital ini dengan sedemikian rupa,” jelasnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (09/11/2021).
Sementara itu budaya digital dalam dunia pendidikan. Pertama yang dapat dilihat transformasi dari sumber fisik atau buku ke digital yakni e-book. Dulu jika kita mencari referensi jurnal kita datang ke perpustakaan untuk mencari buku, tetapi saat ini kita tidak perlu pergi jauh kita dapat mengaksesnya dari tempat kita sendiri.
Lantas, apakah ini memang cara yang tepat dengan kebutuhan pendidikan kita saat ini? Beberapa sumber penelitian saat ini harus juga menyebutkan alamat website atau sumber referensi dari dunia digital.
Kebudayaan di kota ini sebagai transformasi ilmu pengetahuan. Sumber-sumber digital ini menjadi sumber pengetahuan tidak hanya bersumber dari buku tetapi bersumber dari yang lainnya. Membaca secara digital menjadi sebagai budaya baru, perlahan ada yang berubah mulai dari misalnya rak buku kita yang sekarang tidak terlalu banyak namun gawai terus bertambah. Bagaimana gawai ini bisa kita maksimalkan untuk mencari informasi atau meningkatkan literasi kita, mencari informasi yang kita inginkan.
Berkomunikasi digital juga sebagai budaya baru. “Bagaimana cara kita bertemu orang tidak lagi secara langsung. Namun dengan gawai bahkan bukan hanya untuk bersosialisasi namun untuk berbisnis dan mengembangkan koneksi,” ungkapnya.
Budaya digital juga sebagai sumber ekspresi bukan hanya untuk berkomunikasi. Kenapa kita tahu media sosial itu merepresentasikan diri kita? Bagaimana kita mengeksplor diri kita dalam dunia digital? Apakah kemudian itu tereksploitasi dalam ruang positif atau ruang negatif?
Jika dulu masih ada banyak orang yang tidak ketahui tentang kita tapi sekarang setiap seluk-beluk dari ruang ruang privasi kita bisa diketahui. Tidak jarang semua orang seperti membuka kehidupan di ruang digital mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Tentu ini bukan suatu hal yang positif karena bisa jadi di balik itu ada orang yang mengincar untuk menjadi target kejahatan. Jadi dalam budaya digital itu penting untuk memahami apa risikonya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Didin Miftahuddin (Founder Gmath Pro Indonesia), Katherine (Entrepreneur), Ranita Claudiya Akerina (Training Officer PT. Equine Global), dan Tanisha Zharfa sebagai Key Opinion Leader.