Data dari We Are Social menyatakan saat ini sebanyak 98,9 persen masyarakat menggunakan jejaring sosial dan layanan pesan. Sebagian besarnya terlibat aktif dengan atau berkontribusi di media sosial dengan rata-rata waktu penggunaan sebanyak 8 jam 52 menit.
Akan tetapi, menurut Gabriella Jacqueline seorang Brand Activation Lead, keaktifan masyarakat ini memunculkan sebuah permasalahan, yaitu mengenai kesopanan. Survey Digital Civility Index (DCI) menyatakan kesopanan netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Setelah survei tersebut dirilis pun netizen Indonesia langsung membanjiri komentar di akun Microsoft. Hal ini tentu berbeda dengan bagaimana kita dikenal di dunia nyata sebagai masyarakat yang ramah dan sopan.
“Sebenarnya ada tiga faktor yang mempengaruhi risiko kesopanan netizen Indonesia, yaitu ketidakpastian, kesulitan ekonomi, dan juga respon rasa frustrasi,” papar Gabriella dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (11/11/2021).
Ia menyampaikan, risiko utama yang paling sering dihadapi di ruang digital ada tiga. Pertama, hoaks atau berita bohong, Di situasi pandemi yang tidak pasti membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga jika terjadi kesimpangsiuran, masyarakat akan percaya pada informasi yang mereka yakini. Terlebih jika informasi tersebut berasal dari orang-orang terdekat. Tanpa melakukan check dan recheck, masyarakat bisa saja langsung menyebarkan informasi yang diterima. Dengan demikian, mata rantai hoaks menjadi semakin panjang.
Kedua, ujaran kebencian di media sosial. Menurutnya, aktivitas ini bisa dikatakan sebagai respon rasa frustrasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk ungkapan atau luapan emosi, ujaran kebencian bisa muncul dari dorongan melampiaskan rasa frustrasi dan siapapun bisa menjadi sasarannya. Didukung juga oleh kemudahan menyembunyikan identitas di media sosial seperti menggunakan nama samaran atau akun bodong. Sehingga orang menjadi lebih berani untuk melontarkan komentar meski tidak pantas.
Ketiga, diskriminasi yang mengelompokkan orang-orang berdasarkan ras, etnis, atau lainnya. Isu ini dilatarbelakangi kebencian dan mencurahkannya dengan menyerang identitas kelompok atau etnis tertentu.
“Maka dari itu kita harus bijak saat bermedia sosial, biasakan untuk selalu check dan recheck saat menerima informasi, menjaga norma dan nilai sopan santun ketika kita berbahasa di media sosial,” jelasnya.
Salah satu cara mengatasi risiko tersebut dengan meneraokan budaya positif saat kita bermedia sosial. Di antaranya, memfilter akun-akun yang akan diikuti, memberikan kontribusi positif, dan mengingat dampak dari adanya rekam jejak digital.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Bambang Iman Santoso (CEO Neuronesia Learning Center), Virginia Aurelia (Owner & Founder divetolive.id), Suharjanto Utomo (Kaprodi Teknik Informatika), dan Azzahra Karina sebagai Key Opinion Leader.