Indonesia mendapat urutan ke 29 dari 32 negara paling tidak sopan yang disurvey dalam Digital Civility Index oleh Microsoft. Hal tersebut bisa terjadi karena minimnya etika masyarakat Indonesia di internet, tidak seperti pada dunia nyata yang dikenal ramah.
Inne Nathalia seorang dosen komunikasi menjelaskan etika di internet atau netiket adalah suatu konversi atas norma-norma yang digunakan sebagai aturan atau standar dalam proses komunikasi di internet. Netiket ini mencerminkan hal apa yang baik dan buruk untuk dilakukan.
“Alasan penggunaan etika, kita harus sadar dulu bahwa kita semua yang berada di lingkungan media sosial punya latar belakang yang berbeda. Komunikasi di media sosial didominasi oleh teks. Jadi sangat mungkin penafsirannya berbeda tiap orang,” ungkap Inne dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (12/11/2021).
Di samping itu, tidak ada perbedaan antara hubungan pengguna online dan offline. Perlu ada kesadaran bahwa seluruh pengguna adalah bagian dari warga dunia virtual. Ketika kita ingin berkomentar ke orang yang tidak dikenal, maka sopanlah dan memakai etika. Penerapan etika juga bertujuan untuk mewujudkan lingkungan digital yang teratur demi kenyamanan pengguna lainnya.
“Setelah kita mengetahui etika, kita mulai bertanya kepada diri sendiri sebelum menunggah sesuatu. Maksud dan tujuan postingan, manfaat, dampak postingan, persetujuan orang lain yang terlibat, dan lainnya,” ujar Inne.
Perhatikan juga apakah ungahan atau postingan yang ingin kita bagikan itu hoaks atau bukan, apakah unggahan tersebut membantu orang lain, inspiratif, penting, dan mengandung kebaikan. Hal-hal tersebut perlu diperhatikan dan dipertimbangkan setiap kita ingin membagikan sesuatu di ruang digital. Jangan sampai informasi-informasi dalam postingan yang kita sebarkan tersebut berdampak buruk bagi orang lain.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Henry V. Herlambang (CMO Kadobox), Aditya Nova Putra (Ketua Jurusan Hotel Pariwisata), Rino (Kaprodi Teknik Informatika Universitas Buddhi Dharma), dan Davi Arzika sebagai Key Opinion Leader.