Jika ada paham yang dapat memengaruhi kondisi sosial politik suatu negara, maka kita akan melihat sebuah radikalisme yang tertutup. Apalagi sekarang ini sangat erat kaitannya dengan konsep ekstrimisme dan terorisme.
Radikalisme memiliki banyak ciri-ciri. Biasanya isu ini kita selalu lihat dalam berbagai cara dan terjadi secara terus-menerus. Mereka mengajak melakukan perubahan secara ekstrem. Kemudian menggunakan sebuah jalan kekerasan untuk mencapai sebuah keinginannya. Lalu mengajak penganutnya untuk memiliki sebuah keyakinan yang kuat. Target yang paling mudah didekati adalah generasi muda.
Isro Danang Prastowo, Instruktur Edukasi4ID menyebut, mereka kurang mendapatkan sebuah budaya yang membahas mengenai ini. Namun jika dia mengerti mengenai budaya Pancasila dan orang-orang di sekelilingnya memberi pengetahuan soal budaya Pancasila para generasi muda itu akan terjauhkan dari sifat radikalisme.
Badan pusat statistik atau BPS menyebutkan penduduk Indonesia jumlahnya didominasi oleh kelompok produktif yaitu anak muda yang masuk kategori generasi milenial dan Z. Hal ini tentunya bisa menjadi bom waktu di kemudian hari apabila para anak muda ini justru terjerembab dalam ideologi radikalisme dan terorisme.
Ada juga sebuah survei dari Global Indeks Terorism tahun 2020 yang dirilis Institute for economic and v menunjukkan dalam skala Global Indonesia berada di peringkat 37 dengan skor 4629 dari 135 negara yang terdampak oleh radikalisme. Sedangkan di Asia pacific Indonesia berada di posisi keempat.
Di Indonesia terutama di Jawa Barat banyak sekali sebuah upaya untuk mengajak para generasi muda untuk mencapai sesuatu seakan-akan itu baik tapi melalui sebuah cara singkat. Contohnya ada konten radikalisme yang menjanjikan surga untuk melakukan bom bunuh diri maka jelas itu adalah upaya radikalisme atau mengajak kita ke jenjang terorisme. Beberapa kasus contoh aksi terorisme yang terjadi dalam masyarakat kita pertama adalah aksi bom bunuh diri Gereja katedral Makassar pada Maret awal 2021. Atau yang terbaru adalah serangan terhadap mabes Polri oleh perempuan berinisial ZA
“Itulah yang terjadi karena terkadang kita tidak menyadari di sekitar kita itu sudah banyak para generasi muda yang terjebak dalam sebuah aksi terorisme. harusnya banyak tokoh agama dan juga para pendidik yang menjelaskan kepada para pemuda bahwa radikalisme untuk menuju satu tujuan sesaat itu tidak benar,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Jumat (19/11/2021).
Menurut satgas pencegahan terorisme BNPT, perilaku terorisme 47,3% adalah anak muda dengan rentang usia 21-30 tahun. Dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas sebesar 63,6%. Ini artinya usia anak-anak yang masih mencari akan jati diri butuh pengakuan dan perhatian.
Budaya digital dan radikalisme memiliki peran yang sangat kuat dalam penyebaran radikalisme di kalangan masyarakat kita. jika dulu kita mengingat kasus cyber terrorism yang dibongkar pertama kali di Indonesia melibatkan Imam Samudra. Ternyata meskipun dalam lapas Kerobokan, Bali dia mulai aktif di dunia maya dan mengendalikan jaringan yang menjelang peledakan bom di Bali jilid 2 Tahun 2005 hingga akhirnya dia dipindah tahanan ke pulau Nusa Kambangan.
Ini membuktikan sudah lama pola penyebaran radikalisme memang mencari dengan cara yang paling mudah dijangkau oleh generasi muda yakni lewat media digital. Jadi pengembangan cara deradikalisasi, upaya pencegahan aksi terorisme atau strategi dalam mentralisir paham-paham yang dianggap radikal serta membahayakan melalui pendekatan tanpa kekerasan atau soft power, dan budaya.
“Kita berada di negara berbasis Tuhan Yang Maha Esa yang berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 yang sebenarnya sudah mencakup semua hal yang ada di budaya Indonesia. Budaya Indonesia adalah budaya yang lembut, santun mandiri dan kreatif. Tidak ada budaya budaya yang berkembang di negara kita mengembangkan sebuah budaya yang radikal oleh karena itu negara kita itu jangan sampai membangun kembali memahamkan generasi muda kita tentang sebuah budaya radikalisme yang menjanjikan sebuah cita-cita yang sesaat tongkol,” jelasnya.
Dalam perspektif budaya digital pendekatan terbaik dalam hal ini adalah kultur budaya di sekitar kita. jadi para generasi muda jangan mudah terpengaruh mencapai sesuatu yang instan untuk kepentingan diri kita sendiri. Harus paham di dalam kesuksesan itu ada proses ada langkah dan ada pengajaran juga proses waktu untuk kita terus berubah tidak ada yang langsung jadi. Mari kita buat sebuah kultur budaya kita menjadi bagian dari pengembangan diri kita.
Lalu lanjutkan dengan bagaimana penanaman karakter sesuai dengan kaidah agama yang benar. Agama manapun yang ada di Indonesia maka tidak ada satupun yang mengajarkan dan mengerahkan dalam bentuk kekerasan. Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah dengan cara lembut dan juga selalu menanamkan sebuah toleransi yang luar biasa. Toleransi kepada umat yang lain juga yang sangat luar biasa tidak ada satupun kekerasan yang diajarkan.
Pendekatan terakhir yaitu kultur keluarga yang mempunyai peran yang signifikan. Bagaimana caranya agar keluarga menjadi orang yang paling pertama untuk anak dapat bercerita mengenai Informasi apa yang didapatkan di dunia digital maupun dari teman-temannya. Orang tua harus hadir membersamai, sehingga dapat terus mengontrol apa yang mereka dapatkan atau mengenai pemahaman apa yang mereka tengah ketahui.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Zacky Badruddin (Founder Visquares), Yani Sundani (Kepala Sekolah SMAN 15 Garut), Atin Taufik Ibnu Bahrum (Ketua MGMP Kota Depok), dan Isnaini Arsyad sebagai Key Opinion Leader.