Semakin banyak merebaknya konten negatif di dunia digital seperti hoax, konten provokasi yang dapat mengundang ujaran kebencian juga bullying itu karena para pengguna digital ini belum mampu memahami batasan kebebasan berekspresi. Sehingga menembus batas perlindungan siber ujaran kebencian pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segresi sosial atau perpecahan polarisasi di ruang digital.
Aris Sabthazi, guru SMAN1 Jamblang mengatakan, media massa menjadi personal dan interaktif. Semua orang bisa menjadi produsen konten, di sinilah kesenjangan antara kebebasan berekspresi di ruang publik dengan tanggung jawab kewargaan digital acap terjadi.
“Seringkali euforia mendapatkan ruang bicara justru menjadikan kita tidak bijak dalam bermedia. Banyak pengguna tidak mampu memahami batasan antara kebebasan berekspresi dengan perundungan siber,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (19/11/2021).
Alasan lainnya konten negatif itu masih banyak karena belum mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Merujuk pada UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik yang wajib memberikan informasi publik adalah lembaga publik. Itupun sebatas informasi yang sifatnya penting untuk publik.
Kita berhak memperoleh perlindungan privasi di ruang dicipta apapun profesi yang kita pilih. Seringkali kita melakukan pelanggaran hak privasi dengan mengunggah foto atau video tanpa adanya persetujuan dua belah pihak. Hanya karena seseorang menjadi figur publik tidak berarti ia tidak memiliki privasi dengan alasan risiko profesi.
“Jadi kita tidak berhak untuk mengulik-ulik kehidupan pribadi dari para selebritis ataupun pejabat publik karena itu menjadi hak dia untuk menutupi mana privasi yang ingin mereka jaga,” jelasnya.
Para pengguna internet juga belum mampu membedakan misinformasi, disinformasi dan mal-informasi. Misalnya ada sebuah informasi yang memang benar tapi sengaja dibuat ramai karena memiliki tujuan tertentu yakni untuk kekacauan itu disebut dengan mal-informasi.
Hal ini merupakan yang tidak kita inginkan karena dapat memprovokasi masyarakat maka kita harus pintar untuk bukan hanya sekadar mengetahui ini benar sesuai fakta atau tidak. Tetapi harus tahu maksud dari pemberitaan yang terlalu berlebihan ini untuk apa. Seringkali hanya ingin membuat sebuah perpecahan di masyarakat, perdebatan di media sosial sehingga berujung pada perundungan siber.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Sugiarti (Instruktur Edukasi4ID), Laura Ajawaila (Psikologi Klinis Dewasa), Rizky Aliyya