Masyarakat digital berbudaya Indonesia, berarti ketika suatu warga di suatu negara itu masuk di era digital maka secara otomatis itu dia itu sudah menjadi warga negara digital. Namun hendaknya, mereka tidak mengubah budaya mereka.
Maka, diperlukan empat kecakapan digital atau literasi digital yang harus dimiliki yakni skill, budaya, etika dan keamanan digital. Semangat itu, budaya digital itu kemampuan individu dalam memahami kemudian dia bisa menggunakan serta membangun wawasan kebangsaan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Nency Syifahayati, guru SMAN 4 Bandung memaparkan, jika para masyarakat digital itu rendah pemahaman atas nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Padahal di sekolah sudah sering pengetahuan Pancasila diajarkan.
Karena pengguna internet sebagian besar didominasi oleh generasi milenial atau generasi Z, maka ajaran itu harus dipahami. Sebab mereka sebagai representasi atas generasi yang disebut dengan digital native.
“Internet itu memang menggambarkan suatu platform komunikasi yang baru bagi para generasi muda pada umumnya. Sehingga terkadang generasi muda itu kurang mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi. Banyak sekali dampak negatif karena budaya digital yang tidak di manfaatkan dengan baik,” ujarnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (27/10/2021).
Dalam UU ITE mengenai keterbukaan informasi, kita sebagai pemakai harus ada saat kita memberikan informasi kepada publik. Informasi itu sifatnya apakah penting atau kurang penting. Maka dari itu kita terkadang kita lupa ada ada privasi yang dimiliki oleh diri kita ataupun orang lain. Seringkali kita melakukan pelanggaran saat kita mengunggah foto atau video tanpa adanya persetujuan dari pihak lain. Kemudian jika kita mengunggah foto orang lain harus ada etika.
Terkadang masyarakat digital juga masih tidak mampu membedakan antara keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Hal itu yang jadi permasalahan utama. Jika ada seorang artis atau figur publik kalau kita membuntuti dia, foto diam-diam lalu diunggah, maka hal tersebut itu sudah melanggar kode etik. Makanya budaya yang kita tanamkan untuk penggunaan pemanfaatan digital ini harus betul-betul dipahami.
Saat kita membicarakan tentang perjalanan demokrasi di Indonesia kemungkinan terjadi anarkis kemudian ada kemelut politik dan kebisingan publik. Dalam konteks demokrasi ini kehadiran media digital itu itu akan secara signifikan mengubah perilaku publik.
“Satu sisi demokrasi digital itu dapat membantu proses transformasi demokrasi yang bisa berjalan secara lancar dan pasif dan partisipasi dari masyarakat tetapi sayangnya di sisi lain itu kehadirannya itu merusak suatu tatanan nilai demokrasi,” jelasnya.
Maka ketika masuk dalam transformasi ini harus tetap berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika kemudian distribusi konten juga harus sesuai dengan pedoman bangsa itu. Kemudian partisipasi aktif dalam aktivitas digital serta kolaborasi aktif dalam komunikasi digital juga harus berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Seorang warga digital yang pancasilais harus hidup sesuai nilai Pancasila. Seperti bermasyarakat penuh cinta kasih kemudian toleransi menghormati agama orang lain kemudian menanamkan sikap setara. Artinya kita tidak memandang rendah orang lain, kemudian mengembangkan tenggang rasa dan saling tolong-menolong.
Bermasyarakat hidup penuh harmoni mengutamakan kepentingan Indonesia dan demokratis yakni kebebasan berekspresi, peradilan yang tidak memihak, pengakuan hak kelompok minoritas. Terakhir, menghargai hasil karya orang lain berkolaborasi mewujudkan kemajuan yang merata di seluruh Indonesia.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Aidil Wicaksono (Kainzen Room), Tanzela Azizi (Instruktur Edukasi4ID), Atib Taufik (Ketua MGMP Kota Depok), dan Clarissa Purba sebagai Key Opinion Leader.