Masyarakat digital sudah seharusnya fasih untuk bagaimana cara menghadapi informasi yang sangat banyak di ruang digital. Dimulai dari mampu membedakan misinformasi, disinformasi dan malinformasi sebab ketiganya ini sering kita jumpai di media digital.
Hal tersebutlah disampaikan Alfianto Yustinova, penggiat literasi digital. Menurutnya, warga digital harus tahu perbedaannya agar tepat menyikapi. Contohnya, misinformasi adalah informasi yang keliru, memang tidak ada maksud menyesatkan. Orang-orang yang menyebarkan juga tidak mengetahui bahwa informasi yang disebarkan informasi yang salah.
Kemudian disinformasi adalah informasi palsu yang dirancang atau dibuat hanya untuk bersenang-senang. Seringkali didasarkan pada setengah kebenaran. Jadi, kebohongan bercampur dengan informasi yang sebenarnya. Satu lagi yakni malinformasi adalah informasi asli atau benar tapi disebarkan untuk tapi tujuannya untuk menjatuhkan reputasi seseorang atau sebuah organisasi.
Dari misinformasi dan disinformasi dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Seperti satir, konten yang dibuat untuk menyatakan sindiran dengan menggunakan parodi, ironi atau sarkas. Biasanya bentuknya dalam bentuk meme.
“Ada juga konten tiruan ketika sebuah sumber informasi asli dibuat untuk maksud lain, ketika judul gambar atau keterangan tidak saling mendukung satu sama lain. Biasanya ini dalam artikel-artikel itu kita sebutnya clickbait hanya agar netizen membuka situs mereka,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021).
Kemudian ada lagi konten menyesatkan, informasi yang dibagikan itu menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau peristiwa. Seperti saat ini, pandemi banyak sekali isu-isu seputar Covid 19 ataupun seputar vaksin Covid-19 yang menyesatkan.
Konten manipulasi, tujuannya untuk membingkai sebuah isu, ada juga konten yang salah ketika informasi yang benar disampaikan sama sekali berbeda dan ada juga yang dimanipulasi untuk menipu. Kemudian konten palsu konten yang 100% palsu dirancang untuk menipu dan merugikan.
Maka, penting bagi kita menjadi pejuang anti hoaks. Caranya mudah tidak langsung menyebarkan apapun yang kita terima. “Kita analisa sendiri ini termasuk informasi benar atau tidak adakah tujuan dari pembuatan informasi ini. Periksa fakta melalui media online cari kebenarannya. Lalu jika benar sadari apakan informasi ini layak untuk dibagikan,” jelasnya.
Gunakan fitur report di media sosial jika terdapat akun akun penyebar hoaks. Jangan sampai kita terpapar dan orang lain, karena mereka sangat masif dalam menyebarkan konten bohong. Tidak lupa juga yang harus kita lakukan adalah mengikuti akun-akun pemeriksa fakta.
Biasanya mereka akan update isu apa yang salah yang sudah beredar di masyarakat. Sehingga kita dapat menyebarkannya lagi untuk tahu sebuah isu itu benar atau tidak. Kita harus jadi pejuang anti hoaks, gunanya menjaga kestabilan yang digital dari konten negatif.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Nindy Tri Jayanti (Penggiat UKM dan Entrepreneur), Ryzki Hawari (Attention Indonesia), dr. Katherine (Praktisi Kesehatan), dan dr. Wafika Andira sebagai Key Opinion Leader.