Perubahan cuaca yang sekarang ini sudah terjadi ini sudah sangat krusial dan sangat penting sekali untuk dikelola serta menjadi tanggung jawab umat manusia di bumi.
Karena apa? Karena perubahan cuaca sangat berdampak sekali terhadap masa depan kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Jika dibiarkan, kehancuran bumi dalam waktu 10, 20, 30, atau 100 tahun ke depan, dipastikan akan benar-benar terjadi.
Pesan berharga ini disampaikan Daniel Purba selaku Senior Vice President Strategy and Investment PT Pertamina (Persero) kepada publik, khususnya generasi milenial, dalam acara Talk Show dengan tema: “Energi Terbarukan untuk Siapa? Kamu Perlu Tahu!”, Minggu Sore (26/6/2022).
“Sebetulnya kita sudah mengalami sekarang ini. Kita mungkin tidak terlalu berdampak terganggunya kehidupan kita karena adanya perubahan cuaca di dunia. Sekarang aja mungkin kita sudah terasa ya. Ini sudah mau bulan Juli, kok hujannya nggak berhenti dari Desember. Kita sudah kebingungan, nih. Biasanya sudah musim panas, ini kok nggak panas-panas, masih hujan, hujan tiba-tiba turun mendadak. Dampaknya apa? Akhirnya sekarang banyak sakit, gangguan kesehatan. Ini dua musim saja sudah terganggu, apalagi yang empat musim,” terang Daniel.
Lebih jauh, menurut Daniel, masalah cuaca seolah gampang saja, kalau kedinginan tinggal pakai jaket, hujan pakai payung, pilek minum obat. Namun sayangnya, dampak perubahan cuaca tidak sesederhana itu.
“Jadi dalam pola supply chain (rantai pasokan) besar dunia untuk kegiatan logistik, penyediaan pangan, penyediaan energi, dalam orang bertransportasi itu ada yang namanya seasonality, ada musiman. Sekarang musiman ini nggak bisa diprediksi, dalam operasional sehari-hari bisnis pun banyak orang menggantungkan bisnisnya, supply pasokannya itu mengantisipasi cuaca, season. Nah sekarang season ini sekarang nggak terprediksi. Sehingga yang tadinya rencana nggak diproduksikan, tiba-tiba cuacanya membutuhkan. Yang tadinya direncanakan diproduksikan, ternyata nggak dibutuhkan,” papar Daniel.
Dengan demikian, dampak serius dari perubahan cuaca adalah mengacaukan tatanan supply demand (permintaan) dan ini jelas akan sangat merugikan. Akibat lebih jauh, terjadilah krisis-krisis energi di sana sini. Itu disebabkan karena prediksi-prediksi supply demand yang bergeser karena pola cuaca yang tidak normal lagi.
“Ini sangat mengganggu masa depan kehidupan, terutama generasi muda sekarang yang usianya mungkin 40-50 tahun lagi, itu nantinya akan sangat berdampak,” kata Daniel meyakinkan.
Untuk mengelola permasalanan tersebut, maka disepakatilah oleh seluruh pemimpin-pemimpin dunia. Kita harus mengelola suhu bumi ini maksimum meningkat 1,5 derajat di tahun 2030. Bagaimana caranya suhu ini tidak meningkat tidak lebih dari 1,5 derajat?
“Salah satunya adalah dengan menggunakan energi-energi yang tidak menghasilkan gas rumah kaca. Energi apakah itu? Ya, itu energi-energi yang low carbon atau energi-energi yang sifatnya green dan itu adalah yang terbarukan. Jadi, kaitannya ke sana, dengan masa depan kehidupan di planet bumi ini. Jadi itu sangat penting sekali,” terang Daniel.
“Kita sendiri, mungkin yang hidup di kota-kota besar, polusi yang sudah semakin terus meningkat, ini sangat terganggu ya. Jadi ini simple aja, masalah-masalah lingkungan,” imbuhnya.
Transisi Energi
Permasalahan perubahan cuaca menimbulkan munculnya upaya mengatasinya, salah satunya gerakan menuju perubahan atau transisi energi. Apa itu transisi energi? Yang berubah dari energi yang high carbon menuju energi-energi yang low carbon.
“Contoh transisi energi secara sederhana dalam sehari-hari, yang selama ini kita pakai minyak dan gas. Pakai elpiji di dapur, pakai minyak untuk bahan bakar transportasi. Ini ke depan energi-energi carbon yang digunakan ini akan beralih, bertransisi secara perlahan-lahan menggunakan energi terbarukan dan energi baru,” terang Daniel.
Inilah yang sekarang sedang dikampanyekan oleh Pertamina supaya di Indonesia semakin terus meningkat pemanfaatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
“Tentunya banyak aspek ya, tadi ada yang menyinggung soal start-up, mengenai digitalisasinya, nah itu semua ekosistemnya supaya energi terbarukan ini bisa berjalan dengan baik,” lanjutnya.
Menurut sosok berdarah Batak ini, negara-negara maju, di Amerika, terutama Eropa, itu sudah mulai cukup ramai, mulai tinggi penggunaan energi terbarukan. Beberapa negara bahkan sudah mulai mendeklarasikan “Tidak ada lagi mobil-mobil yang memakai bahan bakar minyak di tahun 2030, 2040”.
“Udah nggak boleh lagi mobil-mobil baru yang dijual yang menggunakan bahan bakar minyak. Itu udah ada yang diumumkan negara-negara tertentu,” kata Daniel.
Nah, itu semua tujuannya adalah supaya kualitas lingkungan di bumi ini bisa tetap baik, tetap sehat sehingga cuaca tidak berubah drastis, sehingga kehidupan manusia bisa lebih nyaman. Di situlah mulai berkembang sekarang teknologi-teknologi untuk menciptakan energi-energi baru, energi terbarukan. Itu semua berkembang dengan pesat.
Hanya saja, saat ini teknologi tersebut bisa dibilang masih mahal. Ada juga beberapa teknologi yang lebih murah dari bahan bakar fosil yang ada sekarang. Namun yang pasti, ke depan akan terus berkembang supaya semua ini menjadi lebih murah.
Pertanyaannya: “Terus nanti Pertamina ngapain dong? Nanti pompa bensinnya nggak jualan bensin lagi dong? Kan semua sudah pakai motor listrik, nanti Pertamina tutup dong?”
Peran Pertamina
Saat ini, Pertamina sudah bersiap jika konsumen mulai banyak mengonsumsi produk-produk energi baru terbarukan. Salah satunya seperti geothermal, panas bumi.
“Sekarang di Indonesia, boleh dikatakan Pertamina itu 80% lebih yang mengoperasikan lapangan-lapangan atau aset yang baik dioperasikan sendiri maupun join operasi. Potensinya masih gede banget. Tadi disampaikan baru 0,3%, masih ada 99% yang belum kita manfaatkan. Nah, itulah opportunity yang Pertamina dari sekarang sudah mulai melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya,” terang Daniel.
Pertamina ingin menjadi pionir sebagai perusahaan hijau, green corporation. Pertamina tidak mau hanya dikenal sebagai perusahaan yang memproduksi produk-produk yang mencemari lingkungan. Sehingga, Pertamina telah mengarah ke green energy.
“Kita sudah melakukan PLTS, kemudian kita juga sekarang sudah melakukan biofuel, jadi dari sampah-sampah kita kelola untuk memproduksi listrik. Juga kita sudah melakukan hidrogen. Tahun depan kita sudah produksi hidrogen. Kemudian beberapa energi-energi lainnya juga kita sudah manfaatkan, termasuk energi efisiensi. Karena sebelumnya, dari semua operasi-operasi Pertamina, dari pabrik-pabriknya, dari eksplorasinya, produksi di lapangan itu semuanya mengeluarkan emisi yang meningkatkan polusi karbon. Nah sekarang ini kita nol-kan, supaya kita juga tidak ikut mencemari dari operasi kita yang ada sekarang ini,” kata Daniel.
Itulah kaitannya antara transisi energi dengan perubahan iklim dan kehidupan manusia di planet bumi dalam 30, 40, 50 bahkan 100 tahun ke depan. Sehingga, Pertamina mengembangkan portofolio bisnis.
“Sekarang kita masih 1-2%, di tahun 2030 kita targetkan itu sudah 17%. Jadi kita akan meningkat sebesar 15% lagi dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Inilah yang sekarang kita lakukan investasi-investasi, pembangunan- pembangunan biorefinery, teknologi- teknologi carbon capture juga kita lakukan. Jadi korban-karbon yang diproduksikan oleh industri tambang, oleh industri listrik, itu karbon-karbon yang selama ini dilepas ke udara ke depan ini karbonnya itu kita suntik lagi ke perut bumi, jadi carbon storage, supaya tidak mengotori lingkungan, juga tidak berdampak pada gas rumah kaca,” tandas Daniel.
Dan sekarang ini komitmen-komitmen semua negara-negara, perusahaan- perusahaan, industri-industri, itu semuanya bicara gas rumah kaca, ujung-ujungnya ke sana, akan berdampak pada kehidupan kita di kemudian hari.
Tanggung Jawab Bersama
Untuk diketahui, ke depan pemanfaatan energi baru dan terbarukan menjadi kebutuhan, mengingat makin terbatas serta bertambah mahalnya energi fosil. Kecenderungan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi yang mengalami kenaikan menjadi pemikiran bersama untuk mencari energi alternatif.
Sementara itu menurut artis Olivia Zalianty yang sudah lama concern dengan lingkungan berpendapat, problem di alam sudah di depan mata. Makanya, dia merasa ikut terpanggil untuk menjaga keberlangsungan alam agar bertahan lebih lama. “Selama ini, saya concern sekali untuk diskusi yang berkaitan dengan alam,” ujarnya.
Menurutnya Indonesia saat ini sedang menjalani masa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, seperti listrik dan lainnya. Untuk itu, Olive sangat concern tentang langkah apa yang sudah dilakukan.
“Yang menarik adalah apa yang sudah kita lakukan untuk melakukan transisi tersebut. Bisa dimulai dari diri kita. Mulai dari rumah dan mobil sendiri. Dan yang saya lakukan rutin juga menanam pohon. Ditambah regulasi pemerintah untuk uji emisi kendaraan bisa membuat alam bisa diperbaiki,” ujarnya.
Olivia Zalianty menggarisbawahi bahwa untuk kelangsungan alam yang lebih lama harus dilakukan dari diri sendiri, mulai dari hal kecil dan sederhana, seperti mematikan AC bila tidak digunakan, membuang sampah pada tempatnya, mematikan lampu yang tidak diperlukan dan hal sederhana lainnya.
“Dan setelah memulai dari prespektif mikro bisa membesar mulai dari tingkat RT, RW hingga ke negara,” lanjutnya.
“Konten kecil yang bisa mengubah pandangan masyarakat luas. Seperti kita membuang sampah pada tempatnya, saat piknik membersihkan tempat wisata dan lain sebagainya,” tandas Olive.
Melihat masih minimnya masyarakat terutama milenial dan Gen Z terhadap energi terbarukan, Tirta Komunika dan Netralnews.com menyelenggarakan talkshow soal energi terbarukan. Acara ini sepenuhnya mendapat dukungan dari PT Pertamina Geothermal Energy