– Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia menghadapi tantangan serius akibat banjir produk impor ilegal yang merajalela. Dari estimasi pasar TPT domestik senilai US$19 miliar tahun ini, sekitar 60% atau setara US$11 miliar dikuasai oleh produk impor ilegal.
Menurut data terbaru, sejak kuartal III-2022 hingga saat ini, total pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri TPT telah mencapai angka 200 ribu. Situasi ini semakin memburuk, dan para pemangku kepentingan mendesak pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wirawasta, menjelaskan, “Pasar tekstil domestik sangat menjanjikan, mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang stabil di sekitar 5%. Namun, sekarang pasar ini dikuasai oleh produk impor, terutama dari China.”
Selain banjir produk impor ilegal, produk impor semiilegal juga meresahkan. Beberapa perusahaan mengimpor barang dengan volume yang jauh melampaui persetujuan impor yang mereka miliki. Ini telah merusak industri TPT nasional.
Redma Gita Wirawasta menambahkan, “Produk impor menguasai pasar karena harganya lebih murah 30-40% dibandingkan dengan produk lokal, karena tidak membayar pajak pertambahan nilai (PPN) impor. Jika barang impor membayar pajak, harganya akan setara dengan barang lokal.”
Situasi ini semakin memburuk karena importir TPT China beroperasi langsung di Indonesia dan menjual produk impor melalui platform e-commerce dan social commerce dengan bantuan influencer. Follower influencer ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pedagang di pasar tradisional seperti Pasar Tanah Abang.
Dalam pandangan Redma, situasi ini akan berlanjut pada tahun 2023, dengan nilai pasar TPT domestik mencapai US$18-19 miliar dan nilai impor ilegal bisa mencapai US$10,8-11,4 miliar. Para pemangku kepentingan mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan impor di pelabuhan guna mengatasi masalah ini.