“Aspek ekonomi bukan lagi hambatan utama pengembangan energi terbarukan. Tantangannya kini ada pada proses pengembangan dan pengadaannya, yang perlu diperbaiki dengan cepat. PLN perlu didorong untuk membuat proses pengadaan lebih masif, berkala, dan transparan.” – Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR
Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, menyatakan bahwa aspek ekonomi bukan lagi hambatan utama dalam pengembangan energi terbarukan. Pernyataan ini merujuk pada harga listrik energi terbarukan yang bersaing dengan PLTU yang mendapat insentif harga batu bara.
Deon menekankan bahwa tantangan utama kini terletak pada proses pengembangan dan pengadaan energi terbarukan. Meskipun PLN telah merencanakan pembangunan energi terbarukan sebesar 20,9 GW, realisasinya masih lambat. Oleh karena itu, Deon menyarankan agar PLN didorong untuk melakukan pengadaan energi terbarukan secara masif, berkala, dan transparan.
Selain itu, Deon juga mengingatkan bahwa regulasi terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) PTLS atap 3,6 GW pada 2025 (Peraturan Menteri ESDM 26/2021) masih tertunda implementasinya, dan hal ini perlu segera diselesaikan.
Arif Adiputro dari Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC) menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung energi terbarukan, seperti insentif fiskal dan non-fiskal, untuk mengurangi biaya pengembangan. Dia juga menyarankan agar DPR dan DPD turut mengkritisi dan mengajukan hak angket kepada pemerintah terkait revisi target bauran energi terbarukan yang tidak selaras dengan komitmen ratifikasi UU Paris Agreement.
Pemerintah sendiri berencana merevisi target energi terbarukan yang turun menjadi 17-19% pada 2025, sebagaimana tercantum dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Hal ini menimbulkan pertanyaan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih mengenai komitmen Indonesia untuk beralih ke energi terbarukan, yang sebelumnya telah ditargetkan mencapai 23% pada 2025.