Minyak sawit semakin menjadi komoditas strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan energi nasional, terutama dalam mewujudkan visi hilirisasi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto. Meski memiliki potensi besar, tantangan di sektor hulu masih menjadi kendala, terutama stagnasi produktivitas perkebunan sawit yang bisa berdampak pada rantai pasok industri hilir. Oleh karena itu, penguatan sektor hulu menjadi prioritas utama untuk menopang ekspansi hilirisasi di bidang pangan dan energi.
Isu ini menjadi sorotan dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertajuk Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit bagi Pangan dan Energi Indonesia yang digelar oleh Majalah Sawit Indonesia di Bogor, dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI). Acara ini mempertemukan berbagai pihak terkait untuk merumuskan strategi optimal dalam mempercepat hilirisasi sawit nasional.
Qayum Amri, Ketua Pelaksana acara, menuturkan bahwa workshop ini merupakan ajang tahunan yang sebelumnya sukses digelar di Bandung. Dalam kesempatan tersebut, para jurnalis juga diajak mengunjungi pabrik PT Interstisi Material Maju yang memproduksi helm dan rompi antipeluru dari limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Inovasi ini menjadi bukti bahwa hilirisasi sawit tak hanya mendukung sektor pangan dan energi, tetapi juga membuka peluang di industri manufaktur dan pertahanan.
Kepala Bidang Perusahaan BPDP, Achmad Maulizal, menekankan bahwa hilirisasi sawit adalah bagian dari kebijakan strategis untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Menurutnya, sawit memiliki potensi besar untuk mendukung swasembada energi nasional, terutama dalam menggantikan bahan bakar fosil. Hilirisasi juga berdampak luas pada sektor lain seperti maritim, dengan pemanfaatan hasil samping sawit untuk pembuatan perahu nelayan dan perlengkapan keselamatan.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menambahkan bahwa kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) terus meningkat, terutama untuk program biodiesel. Pemerintah menargetkan penerapan B40 pada 2025, yang diperkirakan akan menyerap 15,6 juta ton CPO. Saat ini, pengujian untuk B50 juga tengah dilakukan guna memastikan kesiapan infrastruktur dan pasokan bahan baku sebelum implementasi lebih lanjut. Program biodiesel ini telah terbukti memberikan manfaat besar bagi negara, termasuk penghematan devisa hingga Rp149 triliun pada 2024.
Di sisi lain, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Fenny Sofyan, menyoroti tantangan besar dalam program biofuel, terutama terkait penurunan produktivitas sawit. Produksi CPO+CPKO pada 2024 mengalami penurunan menjadi 52,7 juta ton dari 54,8 juta ton pada 2023. Salah satu solusi utama adalah percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), namun upaya ini masih terkendala regulasi yang tumpang tindih di berbagai kementerian dan lembaga. Kepastian hukum sangat diperlukan agar industri sawit dapat berkembang secara berkelanjutan.
Sementara itu, Ketua APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak program B40 terhadap harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Berbeda dengan ekspektasi, harga TBS justru mengalami penurunan drastis setelah program ini dijalankan. Salah satu penyebabnya adalah larangan ekspor minyak sawit berkadar asam tinggi seperti POME dan HAPOR, yang membuat harga sawit tertekan. Jika kebijakan ini tidak diantisipasi dengan baik, maka kesejahteraan petani sawit bisa terganggu, meskipun hilirisasi terus dikembangkan.