Jakarta – Rilis daftar 48 perusahaan yang diduga terlibat dalam aktivitas ekonomi di wilayah pendudukan Israel oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali mengundang perhatian publik global, termasuk di Indonesia. Namun, sejumlah ekonom mengingatkan bahwa aksi boikot yang tidak disertai pemahaman menyeluruh justru dapat menjadi bumerang dan merugikan perekonomian nasional.
Ekonom Mumtaz Foundation, yang menekankan pentingnya membedakan antara kepemilikan saham asing dan keterlibatan langsung dalam konflik. “Banyak produk di pasaran yang diproduksi secara lokal, menyerap ribuan tenaga kerja Indonesia, serta menjalankan program sosial yang nyata bagi masyarakat. Hanya karena ada pemegang saham asing, bukan berarti produk tersebut terlibat dalam isu geopolitik,” ujar dia.
Sementara Ekonom dari International Islamic University Malaysia, Nurizal Ismail, menegaskan bahwa boikot yang dilakukan atas dasar sentimen keliru atau persaingan bisnis justru dapat menimbulkan dampak negatif yang luas. “Aksi yang tidak dilandasi informasi yang akurat berisiko mengganggu stabilitas industri lokal dan merugikan tenaga kerja nasional,” jelasnya.
Boikot yang salah sasaran juga bisa mencederai pelaku usaha kecil dan menengah yang menjadi bagian dari rantai pasok nasional. “Bila tidak disikapi bijak, semangat solidaritas bisa berubah menjadi tindakan yang melemahkan ekonomi lokal yang justru sedang berjuang di tengah tantangan global,” tambah Nurizal.
Para ekonom menyerukan pentingnya literasi publik terhadap isu global dan peta rantai pasok perusahaan. Mereka juga menekankan perlunya klarifikasi dan komunikasi terbuka dari pihak-pihak yang terdampak agar tidak terjadi disinformasi yang berkelanjutan.
Mumtaz Foundation menilai, solidaritas kemanusiaan adalah hal yang sangat penting, tapi harus diiringi dengan tanggung jawab informasi. Jangan sampai semangat membela keadilan justru menyasar pihak yang salah.