Perkembangan teknologi digital mengubah cara kita mendapatkan dan menyebarkan informasi. Itulah kalimat pembuka yang disampaikan Matahari Timoer, Digital Literacy Officer ICT Watch dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (4/6/2021).
Gelaran webinar ini diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi.
Literasi digital kali ini memiliki empat pilar pembahasan. Yaitu digital skill, digital safety, digital ethics dan digital culture. Keempat topik besar tersebut memiliki peranan penting dalam bersosial media.
Matahari Timoer membahas tentang digital culture dalam menangkal terorisme, radikalisme dan separatisme. Karena ketiga isu ini juga menyebar luas dalam dunia digital. Parahnya, ketiganya lebih banyak mengarah ke hal negatif. Ia menyebutkan kebanyakan orang mudah terkena paparan karena memang sejak dulu budaya baca kita kurang, lalu berkembanglah males baca itu di rung digital.
“Budaya baca kita memang rendah tapi tetap harus tetap dijaga. Rajin baca minimal baca caption yang benarlah di Instagram. Kebanyakan nanya, caption-nya nggak dibaca gitu. Gila ya caption aja yang sedikit nggak dibaca. Segitu malesnya,” tutur Matahari.
Sementara setiap platform digital jika mau dipahami, diulik memiliki batasan dan aturan privasi serta keamanan. Begitu pula saat pertama kita unduh dan daftar platform sosial media ada syarat dan ketentuan yang begitu panjang, tentunya tidak pernah dibaca. Malasnya budaya baca dan cari tahu di dunia digital ini membuat perbedaan menjadi mencolok dan dianggap tidak demokratis.
“Media sosial dianggap merusak demokrasi? Ya enggak juga sebenarnya ini tinggal tergantung kita lagi. Kita mau enggak mau pasti berbeda soal sesuatu. Tapi lu jangan fanatik dan jangan menghina orang yang berbeda sebab kalau seperti itu kita rentan banget terhasut dengan konflik dan juga rentan direkrut sama pencari bakat,”
Jika sudah terlanjur, masih ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Agar tidak menjadi terlalu terhadap sesuatu. Kembali lagi ke batasi diri dalam berkomentar. Ia pun memaparkan cara seseorang merekrut teroris, mungkin ini harus kita pahami agar tidak menjadi calon pengikut mereka.
“Saya pernah 10 tahun ada di dalam organisasi kayak gitu menjadi anggotanya. Akan dicari orang yang rentan, yang emosinya nggak stabil, yang labil, yang masih nyari jati diri kita,” tuturnya.
Ia pun menjelaskan cara merekrut untuk gabung dalam organisasi teroris di ruang digital sangatlah muda. Mereka akan memposting status-status yang memancing media. Lalu nanti ditelaah komentarnya ada yang netral dan simpati. Dari yang simpati itu dimulailah pendekatan personal untuk di brainwash menjadi kader di media tertutup seperti grup WhatsApp.
Betapa menyeramkan jika terjebak dalam postingan pemancing seperti itu. Karenanya literasi digital harus terus digalakkan. Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital wilayah Kabupaten Bandung juga dihadiri Bentang Febrylian dari Mafindo yang membahas perbedaan informasi dan hoaks, Mira Sahid, penggiat literasi digital mengenai rekam jejak digital dan Oktora Irahadi, CEO Infina membahas Komunikasi Efektif menggunakan media sosial.