Dunia digital memang mempermudah hidup, namun nyatanya digital membawa kebudayaan baru yang tanpa disadari akibat sudah terlalu dalam masuk dalam keseharian. Sosiolog Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan, muncul budaya kepalsuan, ini dilandasi oleh semangat tidak mau ketinggalan. Akibat tidak ingin ketinggalan lalu didukung media teknologi yang dapat menyembunyikan siapa diri kita yang selalu ingin berlomba lomba menjadi yang terbaik.
“Akhirnya yang muncul budaya kepalsuan yang ujungnya membuat kita menjadi miskin. Demi memenuhi gambaran hidup yang hebat, keren, menantang. Kita rela menghadapi apapun termasuk menghabiskan uang kita bukan untuk gaya hidup tapi hidup yang gaya,” ungkapnya saat menjadi pembicara di Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (14/6/2021).
Budaya-budaya yang tidak semestinya dilakukan oleh para warga net. Budaya tidak membumi, mereka yang konon ingin berlibur, menghilangkan stres namun tetap tidak bisa lepas dari gawainya karena pusaran jeratan media sosial. Media sosial yang membuat, siapapun selalu ingin mengabadikan setiap momen sehingga tidak kontemplasi, meditasi menikmati waktu bersama orang-orang terkasih.
Selanjutnya budaya tanpa privasi karena kita terikat dengan istilahnya celebrity culture. Devie menyebut, semua orang menjadi seleb berlomba-lomba untuk sesuatu yang belum tentu positif yang penting tenar, beraksi atas dasar sensasi semata. Ini yang berbahaya, kita terjebak dalam budaya bising tapi sepi. Kita selalu berusaha mendapatkan jempol, love, like di media sosial. Tapi sebenarnya kita hidup dalam kesepian karena apa yang kita bangun bukan berdasarkan kualitas tapi sebatas kuantitas atau hitung hitungan semata.
“Di dunia maya kita banyak tapi saat kita sakit siapa yang menjenguk kita, saat kita butuh bantuan siapa yang benar benar membantu kita,” ujar Devie.
Selanjutnya, budaya lemah hati atau bahasa sekarang baper. Ini membuat kita cepat memutus hubungan sosial dengan unfollow, unfriend, block. Ini tidak sepenuhnya benar jika yang dilakukan itu untuk melindungi diri kita agar tidak masuk dalam lingkaran toxic atau yang menggangu kita.
Budaya lain yang tidak perlu kita adopsi budaya tinggi hati, sombong, pamer. Jika pamer dalam konteks untuk menginspirasi orang lain agar mengerti anda tentu masih positif meskipun tetap tidak boleh seenaknya. Maka, diperlukan literasi digital yang mumpuni agar Indonesia makin cakap digital.
Webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Siberkreasi ini juga turut menghadirkan pembicara yaitu Fakrullah Maulana (Relawan TIK), Heny Mulyati (Mafindo), Dicky Renaldi (Siberkreasi) dan Key Opion Leader, Rio Silaben.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada tahun 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.