Media digital itu adalah perpanjangan indra kita bukan dunia alternatif. Maka, jika kita bisa baik di dunia nyata maka jangan sampai kita beranggapan dapat menjadi orang lain di dunia maya dengan berbuat sebaliknya. Saat kita sudah beretika yang baik di dunia nyata, hal yang sama juga harus di dunia digital.
Hal tersebut disampaikan Septiaji Eko Nugroho, Pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital Nasional 2021 di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021).
Aturan ketika hidup bersama orang lain wajib kita taati. Ada kesopanan yang sudah diatur meskipun bukan berbentukan peraturan tertulis.
“Kita akan menentukan apakah suatu itu pantas atau tidak. Sejak kecil rambu-rambu ini sudah diajarkan atau yang disebut etika. Bagaimana kita dapat menghargai orang lain dan bagaimana kita berperilaku di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Lantas, ketika memasuki dunia baru yakni dunia digital, rasa berbeda karena hanya merasa berhadapan dengan layar datar bukan manusia, etika yang sudah dipahami pun luntur. Berbuat hanya sesuai kemauan sendiri dan tidak beretika di ranah digital justru dampaknya lebih parah. Kita akan diketahui oleh banyak orang jika berkomentar tidak baik. Komentar dan diri akan juga menuai kontroversi.
“Dulu kalau kita berbuat salah di dunia nyata, mungkin yang tahu hanya 50 orang. Berbeda jika kita melakukan kesalahan etika di dunia digital. Bisa seketika diketahui oleh ribuan bahkan puluhan ribu orang. Sehingga sangsinya bisa jauh lebih berat daripada kalau kita melakukan kesalahan di dunia nyata,” ungkapnya.
‘Teguran’ media sosial bagi seseorang yang bertindak melanggar etika, reputasi pribadinya akan sulit dipulihkan. Jejak digital itu sangat sulit untuk dihapus dan beberapa kasus teguran tambahan dari media sosial ialah diserang oleh orang-orang yang sebenarnya juga tidak beretika juga. Mereka melakukan cyber bullying terhadap kita, perundungan ini nyata dapat merusak mental.
Apa yang sudah dilakukan di media sosial memang akan selalu terekam sekalipun sudah dihapus. Mungkin saja ada orang yang sudah mengambil tangkapan layar (screen shot) meskipun sudah dihapus. Ada aplikasinya bahkan ponsel pintar pun sudah menyediakan langsung fitur screen shot ini.
“Bahkan di internet itu ada fasilitas yang bisa dilakukan untuk pengarsipan terhadap sebuah konten. Jadi praktis apa yang kita unggah di internet itu sangat sulit untuk hilang. Berbeda dengan kalau kita berbuat kesalahan di dunia nyata itu mungkin akan lebih mudah dilupakan,” tuturnya.
Maka, warga net di Indonesia perlu memahami Netiket yang menjadi satu dari empat pilar yang ingin dibangun guna Indonesia makin cakap digital. Pilar lainnya yakni kemampuan digital (digital skills), budaya digital (digital culture), dan keamanan digital (digital safety).
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kamis (17/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara pakar Martha Simanjuntak (Founder IWITA – Indonesia Women IT Awareness), Devie Rahmawati (Sosiolog UI), Muh Nurfajar Muharram (Relawan TIK), dan Key Opinion Leader Bella Putri Key.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.












