Budaya bertutur ialah bagaimana kita menerapkan etika saat berkomunikasi. Bertutur bukan hanya secara langsung namun juga saat bertutur di dunia digital meskipun hanya lewat teks saja.
Pedongeng Ariyo Zidni menjelaskan soal budaya bertutur, sebab selama ini menggeluti dunia cerita membuat mengerti soal kebiasaan dari masyarakat dalam berbicara. Saat semua digital budaya bertutur seolah hilang diganti dengan teks dan video. Ditambah ada hal lagi yang berbeda dari perpindahan cara berkomunikasi ini.
“Masyarakat kini jauh dari budaya bertutur yang dulu dipahami. Padahal sebagai citizenship atau warga negara digital, para warga digital harusnya juga berbudaya,” ucap pria yang akrab disapa Kak Aio ini saat menjadi pembicara Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (18/6/2021).
Di dunia digital juga memilki budaya yang disebut budaya digital. Banyak pihak yang menyebut budaya digital ialah budaya Pancasila. Mengenai hal tersebut, Ariyo sangat setuju dan memahami budaya digital pegangan dan nyatanya memiliki landasan Pancasila. Sesuatu yang sangat dikenal masyarakat Indonesia, budaya digital tentu ada bedanya dengan budaya kehidupan nyata.
Masyarakat sudah dikenalkan tentang bagaimana bisa saling menghargai hak orang lain kebebasan berekspresi orang lain. “Bagaimana ketika ada yang tidak sesuai kita bisa sampaikan dengan cara baik baik tapi tetap menjaga reputasi atau tetap menghargai hak-hak mereka mereka sebagai individu. Mereka sebagai warga negara mereka sebagai pribadi dengan budaya-budaya tertentu dan dengan agamanya,” jelasnya.
Kita harus memiliki tanggung jawab untuk menghargai orang lain karena kita juga punya hak di dalamnya. Seperti yang tercantum pada sila kedua Pancasila. Misalnya di sila ketiga maksudnya ada nilai harmoni, masih saling mengormati dan bersatu apapun perbedaannya. Sementara untuk saling cinta kasih dengan sesama warga net ada seperti pada sila pertama.
Hak digital mencakup persoalan akses kebebasan berekspresi, perlindungan atas data pribadi. Privasi dan hak atas kekayaan intelektual di dunia digital termasuk salah satu hak asasi manusia yang juga dijamin negara. Di dunia digital ini ada haknya dan juga harus menjaga hak orang lain.
“Karena lebih terbuka sehingga kita harus melihat dulu hak-hak orang lain, reputasi orang kemudian menjaga kenyamanan bersama. Untuk memberikan keuntungan dan manfaat lebih ketika kita memanfaatkan teknologi digital,” tuturnya.
Ariyo menambahkan, ketika kita menulis komentar harus hati-hati, istilahnya jarimu adalah harimaumu. Kalau kita bisa menjaga hak orang lain maka kita juga akan nyaman fokus untuk menghasilkan konten-konten yang baik dan positif.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Siberkreasi di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (18/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara Devie Rahmawati (Sosiolog UI), Muh. Nurfajar Muharrom (Relawan TIK Indonesia), dan Puspo Galih Wichaksana (Relawan TIK Kalimantan Barat).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital