Penipuan Online berada di posisi kedua setelah penyebaran konten provokatif seperti SARA dan hoaks yang banyak dilaporkan. Sebanyak 7.047 kasus penipuan online dilaporkan.
Rata-rata 1.409 kasus penipuan online setiap taunnya. Jumlah ini tentu bukan angka sebenarnya karena tidak semua kasus dilaporkan, padahal dengan melaporkan kejadian menjadi pelajaran bagi warga digital lain untuk waspada. Bukan hanya untuk menolong diri sendiri tapi juga menolong orang lain, membantu menginformasikan agar mengetahui modus dan cara mencegahnya.
Walaupun sebenarnya modusnya sama sejak tahun 2010, penipuan dengan mengaku-ngaku dari kepolisian atau rumah sakit yang mengabarkan kecelakaan atau penangkapan anggota keluarga kita. Hingga saat ini masih saja ada yang terkena penipuan ini karena mereka menyerang sisi psikologis.
Bisa juga oknum ini sudah mengetahui diri kita dari media sosial, sudah paham keseharian kita dan mood kita seperti apa. Penting juga untuk tidak sering membagika aktivitas keseharian kita di media sosial menghindari pola hidup kita terbaca oleh para pelaku tindak kejahatan.
“Semakin lama sudah semakin canggih dengan mengirimkan pesan dengan link yang sebenarnya bertujuan untuk meminta data pribadi kita. Ada juga yang langsung menelepon untuk meminta kode yang sudah dikirimkan, jangan pernah membagikan apapun kode yang datang ke pesan kita karena itu sesungguhnya ialah kode OTP, password untuk masuk ke akun kita,” ungkap Ismita Saputri, Founder Kaizen Room di webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/8/2021).
Data diri termasuk nama ibu kandung jangan pernah dibagikan karena itu merupakan satu hal yang dibutuhkan saat akan berurusan dengan perbankan. Menjaga data pribadi, pin dan password tidak berhak diberikan kepada siapapun sekalipun otoritas terkait.
Setiap individu harus menjaga baik dengan selalu memasang alarm kecurigaan terhadap siapapun yang mulai bertanya data pribadi kita. Ismita bercerita, beberapa waktu lalu pihak bank ingin memverifikasi data diri melalui telepon. Yakin dari bank namun dia tetap tidak memberikan karena dikhawatirkan data percakapan direkam yang dapat didengarkan kembali.
“Akhirnya saya meminta untuk mereka mengirimkan email berisi form pengajuan verifikasi data. Kalau memang penelepon itu benar dari bank atau otoritas lain mereka akan bersedia jika tidak berarti mereka oknum. Pihak terkait juga sudah memiliki data email kita sehingga tidak perlu menyebutkan email kita. Ketika mereka mengirim email juga akan terlihat apakah dikirim menggunakan email perusahaan atau tidak. Cara memberitahukan data kita dengan cara ini yang paling aman menurut saya,” jelasnya.
Maka masyarakat digital penting sekali memiliki critical thinking agar selalu tepat sasaran dalam mengambil keputusan. Saat ada saran yang datang kita mampu menganalisa apakah memang saran itu sesuai dengan permasalahan kita saat ini atau tidak. Mampu menjabarkan segala sesuatu untuk menyelesaikan masalah dan tidak lupa juga sadar untuk melakukan evaluasi atas apa yang dilakukan selama ini.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bandung Jawa Barat, Selasa (10/8/2021), juga menghadirkan pembicara Oktavian Jasmin (F&B Business Owner), Lintang Ratri (Japelidi), Ahmad Rofahan (Ketua RTIK Kabupaten Sukabumi), dan Tanisha Zharfa sebagai Key Opinion Leader.