Masyarakat indonesia kini sudah hampir 70% menjadi masyarakat digital sebagai masyarakat digital juga kita mempunyai hak digital. Hal tersebut dikelompokkan, seperti hak individu yaitu hak untuk mengakses kebebasan mengakses internet seperti ketersediaan infrastruktur dan kesetaraan akses antar gender.
Infrastuktur internet ini menjadi tanggung jawab pemerintah bagaimana menyediakan internet di seluruh daerah. Kemudian hak untuk berekspresi jaminan atas keberagaman konten bebas menyatakan pendapat dan penggunaan internet untuk aktivis sosial.
Diah Angendari peneliti CFDS UGM mengatakan, saat pandemi seperti saat ini familiar dalam aktivitas sosial seperti donasi yang dilakukan di media sosial, crowdfunding yang dilakukan secara daring. Jadi memang di dalam dunia digital juga kita masih bisa berbagi bahkan kini lebih dimudahkan.
Hak untuk merasa aman bebas dari perundungan, diskriminasi, penyadapan dan atau pemantauan tanpa landasan hukum perlindungan atas privasi hingga aman dari penyerangan daring. Di Indonesia hak untuk berekspresi dan hak untuk rasa aman di dunia digital ini masih kurang, tetapi setidaknya sekarang kita paham memiliki hak itu.
Untuk kebebasan berekspresi kita memang boleh sebebas mungkin tapi bukan tanpa batas beberapa jenis formasi yang dilarang untuk disebarkan atau dibuat berdasarkan perundang-undangan.
“Dilarang karena jika dikeluarkan di ruang digital maka bisa memicu konflik juga akan mengancam keselamatan diri atau kelompok. Misalnya di India penyerangan antaragama karena berita bohong yang disebarkan di aplikasi pesan. Begitu juga dengan penyerangan di Rohingya juga karena adanya berita bohong, ujaran kebencian yang disiarkan melalui media sosial. Sehingga akan lebih bijak jika kita berekspresi ini ingat batasannya,” ungkapnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (2/9/2021).
Hal yang tidak diperkenankan untuk dibagikan di ruang digital ialah pornografi khususnya pornografi anak, tidak menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong. Memberi hasutan kepada publik untuk melakukan kekerasan terhadap perseorangan atau kelompok dan yang terakhir hasutan untuk melakukan diskriminasi kekerasan dan permusuhan antar atas karakteristik tertentu yang dimiliki individu (SARA).
Jangan dilupakan juga untuk melindungi hak digital, anak belum paham mengenai hak-hak mereka. Mereka juga tidak paham tentang risiko yang muncul di ruang digital dan masih harus ditemani saat mengikuti kegiatan virtual meeting.
“Terlebih anak pasti akan bisa punya masa depan sementara ruang digital itu akan abadi, akan selamanya ada. Kemungkinan ketika anak-anak nanti besar mereka bisa melihat apa yang dulu pernah orang dewasa di sekitarnya posting. Jangan sampai membuat mereka malu atau malah membuat mereka tidak senang. Sebagai orang tua, tante, om atau kakaknya kita harus yang bisa melakukan untuk melindungi hak digital anak,” jelasnya.
Paling mudah dilakukan orang-orang dewasa di sekitar anak-anak adalah tidak melakukan over sharing mengenai anak. Anak kecil khususnya yang masih balita memang mereka menggemaskan lucu tapi bukan berarti fotonya terus di-upload sebanyak mungkin. Kalaupun perlu di-upload setidaknya bisa di-private agar tidak sembarangan dilihat orang. Harus diingat foto yang kita sebarkan bisa dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab.
Tidak mengupload foto-foto yang dirasa aktivitas memalukan, saat mereka menangis, atau apapun. Juga saat anak sedang berbuat hal yang berbahaya. Sangat memungkin suatu hari nanti ketika sudah besar bahkan teknologi lebih canggih semua yang foto dan video yang dulu bisa terlihat. Jangan sampai mereka malah protes sama kita dan menyuruh dihapus yang sebenarnya sudah tersebar.
Webinar juga menghadirkan pembicara lain I Gusti Ayu Alma (digital marketer), Dewi Tresnawati (Relawan TIK Indonesia), Muhammad Satria (Direktur Karang Taruna Institute), dan Tresna Wulandari sebagai Key Opinion Leader