Pancasila sebagai budaya luhur yang mempersatukan ribuan budaya Indonesia. Dengan karakter yang berbeda-beda Pancasila dan kelima silanya hadir menyatukan itu. Sebelum era digital, budaya asli kita sangat sopan mulai dari anak kecil hingga orang dewasa selalu memberi salam.
Namun, dibandingkan dengan di era digital, banyak anak-anak saat ini kurang sopan dengan orang tua. Kemudian, budaya gotong royong yang seharusnya dipertahankan saat ini. Akan tetapi, yang terjadi di dunia digital justru sebaliknya. Masyarakat lebih banyak bertengkar baik di dunia nyata ataupun di platform digital.
“Budaya indonesia secara asli juga punya rasa saling tolong menolong yang luar biasa hingga dinobatkan sebagai negara dermawan, tetapi beberapa oknum tidak menerapkan hal itu seperti terjadinya prank bermodus menolong,” ungkap Irsan Maulana, Ketua RTIK Kota Cimahi, dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat (24/9/2021).
Adanya enam agama resmi di Indonesia seharusnya membuat kita saling menghormati dan toleransi kepada sesama. Sebaliknya, yang terjadi di dunia digital kebanyakan komentar atau diskusi yang memicu konflik SARA.
Selain dari segi budaya dan kebiasaan, aktivitas kita juga berubah. Misalnya dalam mencari pekerjaan. Kita tidak butuh melihat lowongan pekerjaan di koran, tetapi bisa melalui gadget kita dan mengakses platform pencari kerja. Bekerja pun bisa dilakukan dari rumah tanpa harus pergi ke kantor.
“Bentrokan yang terjadi antara budaya asli dan budaya digital di Indonesia ketika masyarakatnya belum siap ternyata membuat tumbuh suburnya hoaks di Indonesia,” paparnya.
Hal tersebut bisa tumbuh subur karena perlunya adaptasi. Karena di era ini terdapat generasi digital native dan digital immigrant. Masih banyak orang yang perlu beradaptasi dalam transisi antara era konvensional dan era serba digital. Kemudian, minat baca dan budaya membaca yang rendah membuat orang Indonesia mudah terpapar hoaks dan menyebarkannya.
Lalu, tata krama di dunia digital kurang diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Kondisi seperti itu tentu memprihatikan karena tidak sesuai dengan image masyarakat Indonesia yang ramah dan sopan di dunia nyata.
Menurutnya, budaya digital menghadirkan efek domino yang terjadi di masyarakat. Dalam artian, perbuatan salah itu dibenarkan dan hal yang benar itu disalahkan. Oleh karena itu, penting untuk kita sebagai pengguna internet menguasai literasi digital agar menjadi netizen yang cerdas.
Webinar juga menghadirkan pembicara Billy Kwananda (Wakil Ketua Bidang Pengembangan Bisnis GEKRAFS Jawa Timur), Tetty Kadi (DPR RI 2009-2014), Alfret Nara (Practitioner IT), dan Yumna Aisyah sebagai Key Opinion Leader.