Masyarakat di era digital ialah masyarakat dengan level intensitas informasi yang tinggi serta penggunaan teknologi informasi untuk kegiatan sosial, pengajaran serta bisnis dan kegiatan-kegiatan lainnya. Mereka melakukan sistem layanan dari manual ke elektronik dan kemampuan pertukaran data digital yang cepat dalam jarak jauh dan menjadikan informasi sebagai komoditas bernilai ekonomis.
Menjadi masyarakat digital juga perlu untuk melakukan literasi digital. Arip Amin, Ketua STKIP Yasika Majalengka, menjelaskan literasi digital merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat komunikasi, jaringan dalam menemukan, evaluasi, membuat informasi dan memanfaatkan secara sehat bijak cerdas dan patuh terhadap hukum. Dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi digital dalam pendidikan, guru biasanya datang ke kelas melalui tatap muka langsung secara luring. Hari ini guru atau dosen, tenaga kependidikan perlu menumbuhkan kreativitas bagaimana mereka semua menjadi seseorang yang dapat inovatif. Menghadirkan sesuatu yang terbarukan, wawasan harus luas.
“Karena UNESCO memberi amanah kepada para pendidik menerapkan empat pilar learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together. Setelah banyak mengetahui kita memiliki wawasan yang baik, bagaimana kita juga dapat belajar yang baik karena ketika kita sudah menerapkan sesuatu yang baik memberikan nilai manfaat positif yang banyak. Akhirnya menemukan konsep jati diri yang benar harapannya akan to life together,” ujarnya di webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (19/10/2021).
Bagaimana kebersamaan sosial kita di dunia digital itu bisa bersinergi dengan kebangsaan negara kita agar Indonesia bisa kita jaga bersama. Para pendidik harus memiliki cara pandang dan pikiran-pikiran yang kritis agar dampak buruk dari dunia digital tidak menjadi beban dan persoalan konteks kehidupan sosial kita di masa yang akan datang.
Untuk itu aspek pemikiran kritis untuk melihat regulasi sebagai mekanisme aturan yang perlu kita kritisi bersama-sama karena satu aturan harus juga bisa diadaptasikan. Ini penting untuk perkembangan teknologi dan pengetahuan yang begitu dahsyat.
Jika sekarang kita memiliki UU ITE yang sudah diadaptasikan sebagai kebiasaan yang muncul di antara kita hidup berbangsa bernegara, 5 tahun ke depan UU ITE dapat kita maksimalkan. Karena pikiran pikiran kritis kita untuk memastikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh berdampak buruk bagi kesatuan dan persatuan bangsa ada aspek disiplin yang harus kita tingkatkan selaku pendidik.
“Pendidik harus memiliki karakter karena karakter ini akan menjadi tren di era revolusi 5.0. Dimana artifisial intelijen membutuhkan pendidikan karakter yang baik. Membutuhkan keterampilan yang hebat membutuhkan integrasi total,” ungkapnya.
Kemudian peran keluarga yang sering sekali menyerahkan semua kepada guru. Anaknya dititipkan ke sekolah atau ke kampus. Tapi semenjak pandemi orang tua dapat merasakan betul bagaimana sulitnya mendidik anak untuk urusan pelajaran sekolah.
Bagaimana akhirnya mereka mulai memilih memanfaatkan gawai untuk main game, untuk berada di media sosial bahkan sering mengganggu aktivitas dan konsentrasi teman-teman yang lainnya. maka perlu disadari bahwa peran pendidikan itu bukan hanya pada guru bukan hanya para tenaga pendidik tetapi juga orang tua di rumah sama-sama memberikan pelajaran, pengajaran untuk anak-anak Indonesia.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Laura Ajawaila (Psikolog Klinis Dewasa), Nindy Tri Jayanti (Entrepreneur), Ryzki Hawari (Founder Attention Indonesia), dan Martin Kax sebagai Key Opinion Leader.