Etika dalam bermedia digital harus ditumbuhkan oleh setiap masyarakat digital. Sebab dengan melakukan etika digital ini dapat menutup ruang bagi identitas palsu atau akun palsu sehingga ruang semakin lebih terbuka dalam berinteraksi. Identitas pengguna dapat diakses semua pihak saat berinteraksi.
Selama ini yang terjadi bagi mereka yang menggunakan identitas palsu, cenderung lebih berani memprovokasi, menyebarkan hoaks dan perbuatan negatif lainnya. Mereka merasa aman dan merasa tidak ada yang yang mengganggu jika menggunakan akun palsu. Saat menggunakan identitas palsu juga tentu tidak bisa kita berinteraksi selayaknya dengan manusia sehingga tidak tercipta interaksi efektif dan bermanfaat.
Evan Saepul Rohman, Ketua Umum DPC IVENDO Garut menjelaskan, etika yang telah ada dan digunakan di ruang digital dapat diaplikasikan setiap orang di media sosial. Sehingga tidak ada perbedaan antara mereka di kehidupan maya maupun di dunia nyata. Seseorang dapat menjadi dirinya sendiri di digital.
“Mereka juga dapat mencitrakan diri dia seperti apa yang memang terjadi di kehidupan sehari-harinya harus selalu beririsan dengan apa yang kita tampilkan di media sosial. Misalnya saya seorang konsultan hukum berarti saya juga bisa mencitrakan diri saya sebagai sosok seorang yang mengerti hukum jangan sampai malam melawan hukum. Sebisa mungkin saya juga dapat menerima pertanyaan dari followers saya atau bersedia konsultasi online untuk mencitrakan diri saya sebagai konsultan hukum. Nilai plusnya mungkin saya bisa mendapatkan klien dari media sosial saya,” jelasnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (21/10/2021).
Selain itu, karena platform media sosial ini harus mampu membatasi, maka perlu kita dorong bersama regulasinya. Agar kita dapat menuntut tidak ada ruang bagi akun akun palsu. Seperti dalam registrasi wajib melampirkan data-data yang asli seperti KTP. Sehingga tidak ada lagi akun akun palsu yang sengaja dibuat hanya untuk berkomentar kasar dan lainnya.
Selain itu ruang dan waktu yang selama ini menjadi penyebab media sosial membuat rasa aman dalam melanggar etika harus dipangkas. Hingga ruang digital menjadi sebuah dunia yang nyata karena semua orang asli.
“Kalau sudah begitu tentu komentar karya atau seseorang dipastikan akan selalu baik. Komentar-komentar yang membangun, komentar yang memberi solusi bukan hanya mencaci maki,” harapnya.
Kita juga harus sama-sama mendorong pemerintah untuk mengatur platform media sosial agar dapat meminimalisir akun palsu dengan menambah identitas asli di setiap penggunanya. Evan meminta semua pihak bersatu agar ini menjadi dorongan untuk pemerintah.
Karena saat ini kita masih dibebaskan untuk membuat identitas apapun. Minimal jika kita bebas memakai nama apapun, namun identitas registrasi yang digunakan tetap asli. Supaya saat bermedia sosial kita tetap menjunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari di dalam ruang digital. Sebagai kode etik kita di dalam kehidupan dan menghargai sesama manusia.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Made Sudaryani (Managing Director D&D Consulting), Ellangga Seta (Digital Entrepreneur), Laura Ajawaila (Psikolog Klinis Dewasa), dan Tresia Wulandari sebagai Key Opinion Leader.