Transformasi digital membuat penggunaan perangkat digital yang dilakukan masyarakat Indonesia cukup sering dalam sehari. Seringnya mengakses media sosial konon menggerus identitas kita sebagai warga negara Indonesia.
Terkenal ramah di dunia, menduduki peringkat 8 masyarakat teramah di dunia. Dimana ketika wisatawan datang ke Indonesia mereka senang dengan senyum ramah kita masyarakat Indonesia.
Aaron Daniel O’Brien, guru bahasa Inggris, sekaligus seorang kreator konten pendidikan mengatakan, namun keramahan itu seakan tidak terlihat lagi ketika masyarakat Indonesia sudah berada di balik layar gawai mereka. Sebab, dia melihat penelitian dari Microsoft yang menyebutkan dari 32 negara dengan 16.000 responden pada Mei 2020 Indonesia mendapat peringkat ke-29 dengan total skor 76 poin.
Hasil penelitiannya menunjukkan ada 47% konten yang beredar di media sosial warga negara Indonesia itu berisi berita bohong dan perempuan. Sedangkan 27% isinya ujaran kebencian dan 13% diskriminasi. Jadi masih banyak sekali konten-konten yang isinya negatif di ruang digital masyarakat Indonesia.
“Memang apa yang disampaikan oleh Presiden bahwa sangat mendesak untuk mengisi ruang digital kita dengan konten-konten positif karena ini adalah lawan kita bersama yang harus kita perangi,” ungkapnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/10/2021).
Sebenarnya, penyebab netizen itu tidak sopan, Aaron mengemukakan ada sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada sosial cues atau ekspresi wajah saat berinteraksi di media digital. Kita tidak dapat lihat ekspresi wajah lawan bicara kita. Ternyata itu sebenarnya sesuatu yang yang sangat krusial atau penting bagi kita untuk paham apa maksud dari lawan bicara kita itu yang kita lihat dari ekspresi wajah mereka.
“Misalnya saat kita mengirimkan sebuah pesan lalu dibalas oleh lawan chatting kita itu dengan tulisan ‘haha lucu’. Itu sebenarnya mengandung banyak yang tidak pasti kita ketahui maksudnya. Apakah memang benar lucu atau memang itu hanya sekadar sarkasme dari dia?” ungkapnya.
Kebingungan didapat dari sebuah kata-kata itu dapat memunculkan konflik juga kata-kata tidak sopan lainnya yang mudah meluncur. Ditambah karena tidak bertemu sehingga seakan-akan konflik itu sangat mudah muncul.
Terjadinya konflik di media sosial ada beberapa pihak juga yang malah merasa tidak masalah atau terjadi pembiaran, merasa senang karena banyak hal yang mereka rasa itu akan membuat konten mereka itu viral.
“Ketika ada seseorang yang tersinggung mereka tidak juga merasakan atau turut empati malah terkesan memojokkan. Respon lainnya jika melihat konflik yang ada di uang digital Mereka cenderung merasa tidak mempermasalahkan bahkan senang untuk algoritma media sosial mereka,” jelasnya.
Maksudnya bagus untuk algoritma adalah platform media sosial mereka mengandalkan perhatian kita sebagai model bisnis mereka. Semakin lama perhatian kita fokus kepada media sosial itu, semakin banyak iklan yang mereka bisa bayarkan pada kita. Sayang sekali sebagai manusia kita lebih memperhatikan hal yang negatif, kita lebih ingat sesuatu yang negatif jadi positif.
Sangat disayangkan kita memang lebih sering mengingat sesuatu yang negatif. Media sosial dengan mudah bisa terus memberikan konten-konten negatif yang sama seperti apa yang sudah kita perhatikan.
Aaron menilai ini seperti lingkaran setan. Semakin banyak hal-hal negatif menjadi perhatian maka secara otomatis algoritma media sosial akan menaikkan hal-hal yang seperti itu kepada kita.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Evan Samuel (Digital Marketer), Asep Suhendar (Kreator Konten), Herman Pasha (Trainer People Development), dan Deya Oktarissa sebagai Key Opinion Leader.