Globalisasi melalui digital dapat dilihat dari budaya, etika, etiket, bahasa, gaya, trend semua melebur jadi satu. baik yang tua maupun yang muda kita sekarang sedang kita belum menjadi masyarakat yang dewasa dewasa dalam menggunakan digital. Menjadi masalah adalah dengan generasi dari lahirnya sudah terdistrupsi oleh digital, sudah beradaptasi dengan digital sehingga mungkin saja budaya kesopanan ataupun tradisi di Indonesia mungkin saja sudah tidak relevan.
Ryzki Hawari, founder Attention Indonesia mengkhawatirkan generasi muda ini kehilangan identitas bangsa. Jika kita harus terus menyuarakan konten-konten positif kita harus terus memberikan edukasi budaya kita supaya tidak lupa kita sedang berdiri dimana, supaya kita tetap mengingat identitas kita sebagai bangsa.
Apa saja perilaku atau yang sebenarnya terjadi di dunia digital. Seperti sebuah film yang dibuat oleh Netflix, aplikasi streaming hiburan. Mereka membuat film berjudul ‘The Social Dilema’, dalam film ini banyak diceritakan berdasarkan pengalaman nyata mantan pegawai media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Mereka mendokumentasikan mengenai media sosial itu sendiri.
Inti dari film tersebut, menggambarkan bahwa manusia sebenarnya adalah produk bagi media sosial. Terdapat algoritma media sosial akan memberikan informasi sesuai dengan ketertarikan kita.
“Kalau saya suka hitam lalu Anda biru nanti di media sosial saya akan selalu terlihat warna hitam. Di media sosial Anda akan selalu terlihat warna biru. Kita tidak boleh terbuai informasi yang ada di akun media sosial kita saja. Karena memang itulah yang mereka lakukan, ada algoritma yang memberikan informasi yang hanya sesuai dengan yang kita inginkan. Sesuai ketertarikan kita saja, supaya kita sebagai pengguna media sosial itu akan terus-menerus,” jelasnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (25/10/2021).
Ryzki menyarankan para pengguna internet untuk sebaiknya melakukan detoks media sosial. Jadi, tidak terlalu bergantung dengan media sosial. Banyak juga terjadi dari media sosial itu terdapat dua pandangan yang berbeda semakin berdebat panas.
Misalnya ada pendapat A dan B saling berdebat padahal kedua aspek tersebut adalah kebenaran. Itulah kita harus berhati hati dalam melakukan komentar, kita harus lebih objektif. Harus dapat lebih melihat prespektif lain, jangan mengambil cerita dari satu sisi saja. Kemudian di media digital para pengguna itu sering sekali menyebarkan Informasi yang tidak benar.
“Mereka terbuai dengan informasi, jadi walaupun belum tahu kebenarannya tapi karena menarik, karena akan dikomentari banyak orang akhirnya dibagikan begitu saja. padahal dihawatirkan orang yang menerima informasi tersebut kembali membagikan kepada yang lainnya akhirnya akan menciptakan sebuah kebohongan yang lebih besar,” tuturnya.
Kemudian, yang harus disadari setiap pengguna media sosial adalah ketika kita komentar di akun orang lain. Bersikaplah seperti kita datang ke rumah orang, yang biasa dilakukan adalah ketuk pintu terlebih dahulu, ucapkan permisi, tidak semena-mena begitu saja masuk dan berbuat onar. Begitu juga saat di media digital, kita tidak langsung berkomentar kasar, body shamming atau juga membahasa SARA yang dapat membuat ketidaknyamanan. Berkomentarlah seolah orang tersebut ada di depan kita.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Didin Miftahudin (Founder Gmath pro Indonesia), Ranita Claudius Akerina (Training Officer PT. Equine Global), Iwan Kemrianto (Founder yukbisniskost), dan Martin Kax sebagai Key Opinion Leader.