Sebagian besar interaksi sosial beralih ke online sejak transformasi digital dan pandemi Covid-19. Segala aktivitas yang pindah ke ruang digital ini memungkinkan terjadinya penyebaran konten-konten negatif, tak terkecuali konten pornografi dan pelecehan seksual yang pindah ke ranah online.
“Kekerasan berbasis gender online (KBGO) merupakan kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi. KBGO merupakan kejahatan siber dengan korban perempuan yang sering dijadikan objek pornografi,” kata Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Lemhamnas RI 2021 saat webinar Literasi Digital wilayah Kota Depok, Jawa Barat, pada Selasa (2/11/2021).
Dia mengatakan, KBGO dapat masuk ke dunia offline di mana korban mengalami kombinasi kekerasan secara online dan berlanjut secara langsung saat offline. Bentuk KBGO pun bermacam-macam, antara lain ada cyber hacking, impersonation di mana penggunaan teknologi digunakan untuk mengambil identitas orang dengan tujuan mengakses suatu informasi yang pribadi, mempermalukan, dan menghina korban, menghubungi atau membuat dokumen-dokumen palsu.
Jenis KBGO lainnya ada juga cyber surveillance, stalking atau tracking seperti halnya menguntit dan mengawasi tindakan atau perilaku korban dengan pengamatan langsung atau pengusutan jejak korban. Termasuk perilaku cyber harassement dengan menakut-nakuti, merayu atau memanipulasi korban untuk mendapat keuntungan.
“Ada yang namanya cyber recruitment penggunaan teknologi untuk memanipulasi korban dan malicious distribution yang meliputi penyebaran konten-konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan terlepas dari kebenarannya,” sebutnya lagi,
Begitu rawannya dunia digital saat ini, apa yang bisa dilakukan agar terhindar dari kekerasan gender berbasis online? Ninik mengatakan semuanya bisa dicegah dengan bijak saat menggunakan sosial media, tidak mengunggah sesuatu yang pribadi di sosial media, tidak menyimpan video atau foto pribadi di gadget, tidak terbujuk oleh pasangan untuk melakukan konten pornografi.
Di sini menurut dia pentingnya pendidikan literasi digital dan kurikulum literasi digital. Namun bila sudah terjadi, dia mengajak untuk jangan ragu melapor. Minimal mengontak lembaga-lembaga terkait seperti Komnas Perempuan. Berikut juga lembaga pengaduan online seperti JalaStoria.id dan Kantor Polisi.
Meski dengan berbagai kendala dan keterbatasan, Ninik tetap mengimbau agar korban melapor ke layanan pengaduan yang tersedia. Di antaranya melalui Komnas Perempuan di Unit Pengaduan untuk Rujukan yang telah didirikan sejak tahun 2005. Kemudian ada Lembaga Pengada Layanan seperti P2TP2A Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta LBH APIK dan Rumah Perempuan.
Hadir pula nara sumber seperti Ropiyadi, Wakasek Bidang Peserta Didik SMK Putra Bangsa Depok, Hamidah, Penggagas Wadah Guru Bicara Pendidikan, Rumiyati, Guru di SMP Negeri 5 Depok, dan Tabitha Purba, seorang Digital Creator.