Menurut Charity and Foundation (CAF) tahun 2018 Indonesia merupakan bangsa yang paling baik yang paling banyak memberi sumbangan atau donasi. Sebelumnya di tahun 2016 menurut Forbes Indonesia kedua setelah Myanmar.
Data terbaru tahun 2021 menurut CAF Indonesia masih menduduki posisi pertama untuk bangsa paling dermawan. Indonesia bangsa yang ramah dan baik itu memang sesuai dengan fakta bukan kita yang mengklaim tapi orang lain yang melakukan survei demikian. Jika kita sedang keluar negeri lalu berkenalan dan menyebut kita berasal dari Indonesia rata-rata mereka akan menyebutkan kebaikan dan negara kita.
Tetapi ketika masuk ke dalam ruang internet, masyarakat Indonesia saat kan berubah dari apa yang dunia katakan. sudah banyak korban komentar julid netizen Indonesia di tahun 2021 ada selebgram dari Rusia yang sempat bermasalah dengan YouTuber Indonesia, pada Microsoft, Gothamcess, bahkan perhelatan All England dan asosiasi dunia bulutangkis BWF pun menjadi korban.
Robi Aji dari Pintu Bahasa menjelaskan alasan kita tetap harus santun di media sosial. Faktor utamanya itu adalah seringkali orang menganggap akun media sosial sebagai ruang pribadi. Jadi ketika kita pakai akun media sosial semua orang punya akses terhadap media yang dikonsumsi publik itu bias. Tidak jelas mana yang ruang publik, mana ruang pribadi.
“Itu yang membuat saya, akhirnya sampai saat ini tidak memiliki akun pribadi. Kalau saya mau bicara di media sosial untuk mengungkapkan gagasan. Saya pilih akun media sosial atas nama kelompok. Jadi kalau dulu, kita kalau mau bicara kepada publik kharus di forum Misalnya di satu acara yang ada penontonnya kemudian kalau tidak di media massa di koran atau di TV yang semuanya melalui seleksi ada kuratornya. Jadi apa yang kita sampaikan dihadapan publik itu disaring,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (05/11/2021).
Hal itu perbedaan dengan peradaban kita saat ini. Sekarang, media digital membebaskan orang untuk bersuara. Memang ada positifnya seperti memberi ruang bagi mereka yang tidak pernah didengar. Tetapi negatifnya media sosial juga memberikan ruang untuk memberikan suara kepada orang yang tidak pantas didengar. Jadi itu semua hadir karena kita tidak bisa membedakan mana ruang pribadi maupun ruang umum.
Menyampaikan sesuatu terkadang kita ingin menyampaikan sesuatu hal kepada seseorang. Misalnya kita ingin membicarakan keburukan seseorang namun kita membahasnya di media sosial kepada teman kita melalui Facebook. Yang terjadi adalah semua orang bisa melihat, ada hal yang seharusnya dilakukan adalah memilih media yang lebih pribadi seperti di WhatsApp.
“Saya selalu mengibaratkan media sosial itu seperti meja makan di restoran. Ketika kita sudah berada di meja itu otomatis itu milik kita, bisa ngobrol bebas. Tapi kita harus ingat jika kita berbicara keras di saksikan oleh orang lain, di meja sebelah yang masih satu restoran. Otomatis apa yang kita bicarakan terdengar oleh orang lain yang ingin memperhatikan meskipun banyak juga mungkin yang mendengar tapi cuek saja,” ujarnya.
Jadi itu masalahnya, bias antara ruang pribadi dan ruang publik. Warganet Indonesia harus santun di media sosial juga ada risiko dan manfaatnya. Kalau kita santun manfaatnya di media sosial hidup akan harmoni, terciptanya kerukunan dan persatuan. Sementara, resiko yang harus dihadapi bila tidak melakukan kesantunan di media sosial ada dua yang dapat dialami.
Risiko sosial dan hukum, sosial yakni terjadinya kegaduhan konflik juga perpecahan. Sementara untuk risiko hukum, warganet terancam melanggar undang-undang ITE dan pidana lain.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Gabriella Jacqueline, (Brand activation Lead at Startup Agritech and entrepreneur), Erri Ginandjar (radio Oz Bali), Andika Zakiy (Yayasan SEJIWA) DAN Yumna Aisyah sebagai Key Opinion Leader.