Budaya digital dapat dianggap sebagai budaya teks yang berkesinambungan. Pernyataan ini khususnya didukung oleh kemampuan media digital dalam menunjang fleksibilitas materi media yang memungkinkan pengguna dan produser media untuk menambah atau mengubah teks tersebut dengan mudah dan juga memberikan mereka wewenang lebih untuk mengontrol dan berkreativitas dengan teks tersebut.
Akibatnya, teks dapat difabrikasi dan diproduksi secara terus menerus dengan kombinasi yang beraneka ragam. Bahkan dalam bentuk yang tidak dapat langsung ditentukan sebelumnya oleh pencipta teknologi digital itu sendiri.
Landasan dalam budaya digital yakni undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Ratu Raja Arimbi Nurtina, Juru Bicara Kesultanan Kanoman mengatakan, permasalahan yang terjadi dalam budaya digital ini diakibatkan dari belum terbiasanya masyarakat pindah beraktivitas dari offline ke online. kemudian masih banyak juga yang belum memahami kebutuhan aplikasi sesuai dengan bidang pekerjaan mereka ataupun yang mereka sedang geluti.
“Sehingga perlu kesadaran dalam berkomentar positif seperti menghindari diskusi yang tidak logis. Dalam berinteraksi juga diperlukan sikap sopan santun tidak berujar kebencian atau ancaman lalu harus pandai menyikapi berita bohong,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021).
Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan masyarakat bijak dalam memilih aplikasi. Aplikasi apa saja yang sesuai dengan kebutuhan mereka dalam beraktivitas misalnya dalam pembelajaran lebih efektif melalui aplikasi Zoom atau hanya WhatsApp. Tentu ini harus juga dapat disesuaikan dengan kemampuan dari para peserta didik, apakah mereka dapat mengunggah aplikasi zoom di ponsel mereka bisa jadi memori tidak cukup ataupun terlalu banyak menggunakan kuota?
Jadi pemilihan aplikasi sangat diperlukan untuk menyesuaikan apa yang menjadi aktifitas pengguna internet. Cara menyikapi permasalahan lainnya yakni dengan bijak dalam berkomentar dan bijak dalam menyikapi pernyataan.
“Tidak perlu terburu-buru dalam menanggapi sebuah komentar yang masuk ke dalam media digital kita. sebab kalau terburu-buru kita bisa terbawa emosi lantas tidak melihat apakah komentar baik atau buruk,” jelasnya.
Gunakan kesopanan yang biasa kita lakukan di luar jaringan atau pada kehidupan sehari-hari. Kita dapat menghargai orang dengan bertutur kata yang santun sudah seharusnya di ruang digital pun demikian bagaimana dapat bijak berkomentar tidak menimbulkan keramaian ataupun perpecahan.
Solusi dalam budaya digital lainnya bijak dalam berbelanja. Tidak dapat dipungkiri jika transformasi digital membawa perilaku baru dari masyarakat salah satunya dengan mudahnya mereka berbelanja. Agar tidak mendapat masalah keuangan tentu kita harus bisa bijak dalam berbelanja mulai dari mengatur keuangan hingga kita selalu mengecek barang yang kita beli di toko online.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Rabindra Soewardana (Direktur Radio Oz Bali), Katherine (Owner Organicrush), Reza Haryo (Entrepreneur), dan dr. Maichel Kainawa sebagai Key Opinion Leader.