Hoaks tersebar itu bukan semata karena ketidakcakapan dalam penggunaan media digital tetapi permasalahan etika. Karena warga digital bertendensi untuk mempercayainya dan juga mencari apa yang kita diyakini. Hal tersebut disampaikan Slamet Wahyudi Yulianto, dosen Universitas Subang.
Karena itu lepas dari apakah informasi itu bohong atau mengandung konten negatif, jika sesuai dengan apa yang kita yakini dan apa yang kita percayai. Hoaks itu akan semakin menyebar.
“Kita punya tendensi untuk terus menyebarkan, ditambah didukung oleh algoritma dari media sosial yang banyak merekomendasikan berdasarkan history dari pencarian yang kita punya. Misalnya kita banyak searching mengenai smartwatch. Maka, di beranda media sosial kita nanti kebanyakan yang muncul itu tentang smartwatch itu. Hal ini juga dapat diartikan, membuat orang jadi hanya punya satu sudut pandang,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021).
Ketika kita di media sosial segala peraturan serta tata krama dan yang berkaitan dengan media digital itu harus diaplikasikan. Begitu juga ketika kita pergi ke suatu daerah maka budaya, peraturan dan etika di sana juga kita ketahui dan aplikasikan ketika kita berada di sana. Sesuai dengan pepatah, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Juga kita tidak diperkenankan untuk mengomentari kebudayaan atau hal yang berkenaan denga kebiasaan daerah tertentu. Seperti pada kasus kontroversial tweet dari seseorang saat hari kemerdekaan lalu. Ketika usai upacara Kemerdekaan, presiden Jokowi menggunakan baju adat Baduy, kemudian seseorang mengatakan presiden cocok menggunakan pakaian itu lalu membawa madu dan jongkok di perempatan.
Status itu seperti memiliki dua tendensi untuk merendahkan presiden sekaligus suku Baduy. Setelah status ini muncul banyak yang resah soal Presiden tapi sudah menyangkut salah satu suku di Indonesia.
“Padahal suku tersebut memiliki budaya yang sangat luhur, budaya sangat tinggi tapi seperti direndahkan karena digambarkan hanya membawa madu dan jongkok di perempatan. Dampaknya setelah ramai orang tersebut mengundurkan diri dari tempat ia bekerja dan otomatis namanya tercoret,” ungkapnya saat mengisi webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (17/11/2021).
Jadi ketika bermain sosial media, kita harus mengedepankan harus memiliki tujuan. Kita ingin apa di media sosial itu, ingin mencari info apa saja. Kebijakan apa saja yang ada dalam media sosial itu. Kemudian harus penuh dengan kebajikan. Mulai dari yang kita lihat hingga yang kita bagikan atau posting di media sosial hendaknya semua yang positif.
Kita harus tekankan bahwa kegiatan dalam media sosial kita itu harus mempunyai kebaikan karena semua tanggung jawab kita. Apa yang kita lakukan, mulai yang unggah, like, komen atau juga download itu semua me jadi tanggung jawab kita. Prinsip integritas, yakni harus jujur, ketika menggunakan bahan yang kita cari di internet kita harus menyebutkan sumbernya.
Penerapan prinsip itu dapat dilakukan pada tata kelola, ketika kita baru akan membuat akun sosial media. Kemudian saat berinteraksi, jadi berinteraksi dengan siapapun itu harus berawal dari kesadaran. “Kita sadar dengan siapa berinteraksi, untuk kepentingan apa dan tanggung jawabnya seperti apa dan itu harus berasaskan integritas, kejujuran keterbukaan, transparansi ketika berinteraksi atau ketika berkolaborasi. Kita paham tujuan berkolaborasi dengan siapa saja melakukan ini,” lanjutnya.
Kita siap menanggung konsekuensi atau tanggung jawab apapun yang yang muncul dari kolaborasi yang kita lakukan dan harus integritas harus harus harus jujur misal kalau karya yang kita buat masalah ini ngambil dari kerjasama yang kita lakukan. Prinsip dan penerapan dalam media sosial itu memang idealnya dilakukan agar tercipta kenyamanan di dalam ruang digital. Kita sebagai pengguna digital pun dapat aman dalam beraktivitas di dunia maya.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Hartini (Waka Humas SMPN 1 Cigombong), Tuti Awaliah (Guru Penggerak), Tanzela Azi (guru SMA Taruna Bakti Depok), dan Deya Oktarissa sebagai Key Opinion Leader.