Adanya Netiket atau etika dalam berinternet saat berada di ruang digital membuat orangtua menyadari kapan waktu yang pas untuk mengenalkan netiket kepada anak.
Tetty Sugiarti, pegiat Literasi Digital yang juga guru SMKN 1 Katapang, Kabupaten Bandung mengatakan, tidak ada batas usia. Selama anak sudah masuk dalam ruang digital apalagi mengakses media sosial sudah selayaknya orang tua mampu memberi pemahaman soal netiket.
Meskipun, dalam aturan resmi dari Facebook, anak usia 13 tahun baru boleh memiliki akun Facebook. Namun, kini kebanyakan usia di bawah 13 tahun sudah memiliki akun media sosial yang masih dalam pengawasan penuh orang tua bahkan dibuatkan oleh orang tuanya.
Netiket sudah harus dikenalkan, sehingga anak tidak seenaknya posting atau berkomentar. Pengawasan ketat harus terus dilakukan, karena banyak sekali ujaran kebencian di ruang digital.
“Netizen Indonesia misalnya tidak suka dengan artis atau sosok tertentu, dia bisa langsung mengucapkan ujaran kebencian dengan komentar-komentar yang kurang elok untuk dibaca. Padahal ada UU yang dapat diproses secara hukum. Oleh karena itu untuk anak-anak yang usianya masih di bawah 13 harus selalu dipantau oleh orang tuanya. Terlebih remaja-remaja yang biasanya rasa penasarannya besar semua dicari dan diungkapkan isi hatinya. Orangtua mampu memberi arahan untuk itu,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/11/2021).
Bagi remaja dapat diberi pemahaman yang juga lebih dewasa. Media sosial itu akan memperlihatkan kualitas diri kita seperti jadi berhati-hatilah dalam berkomentar atau upload sesuatu di media sosial. Kenalkan juga soal jejak digital yang harus dijaga oleh para remaja untuk masa depan mereka. Misalnya untuk beasiswa dan aktivitas prestasi lainnya.
Buat mereka menciptakan ruang digital yang aman dari kekerasan seksual. Kenalkan batasan mana mereka tidak berpose yang vulgar di ruang digital. Serta hal lain seperti cara berpakaian, penggunaan bahasa apakah pantas atau tidak. Kemudian lihat siapa yang kira-kira akan mengakses media sosial kita.
Menurut Komnas Perempuan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang atau tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan seksual seseorang atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang. “Berarti berkaitan juga dengan body shaming, kita harus lebih hati-hati lagi karena di luar sana banyak sekali orang-orang yang misalnya memandangnya berbeda jadi negative thinking.
Artinya para remaja sendiri yang harus mem-protect diri mereka, membatasi diri sehingga tidak menimbulkan gejala atau reaksi orang lain untuk berkomentar tidak sedap,” jelasnya.
Orang tua harus terus mengingatkan anak dan remaja berperilaku sopan santun, mengikuti aturan yang sudah ada. Memahami literasi digital dapat berpikir kritis agar terhindar dari hal-hal negatif di ruang digital. Bantu mereka untuk mempelajari fitur keamanan digital dan bergabunglah dengan aktivitas kampanye anti kekerasan.
Cara mengatasi kekerasan seksual, mereka mampu menyeleksi, menyaring dan selalu waspada terhadap teman di dunia maya.
Saring apa yang akan dibagikan di ruang digital, bandingkan dengan sumber yang lainnya. Periksa gambar dan video yang tertera karena banyak banyak sekali penipuan atau aplikasi yang tidak benar. Jadi kita memang harus pandai menyeleksi menyaring semua informasi yang akan kita serahkan kepada orang lain.
Webinar juga menghadirkan pembicara, Reza Haryo (Entrepreneur), Muh. Nurfajar Muharram (Relawan TIK Indonesia), Dede Amar (Ketua PGRI Jawa Barat), dan Tanisha Zharfa sebagai Key Opinion Leader.