Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fajar Nursahid mengatakan bahwa polisi siber memiliki risiko terhadap sistem demokrasi di Indonesia, yakni memengaruhi keberanian masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.
“Mereka merasa ketika menyatakan aspirasi, itu banyak terjadi tekanan,” kata Fajar Nursahid , dikutip Senin (13/12).
Dikutip dari laman resmi Patroli Siber, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) adalah satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri dan bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber.
Beberapa jenis kejahatan siber yang satuan kerja ini tangani, khususnya terkait dengan kebebasan berpendapat, adalah tindakan pencemaran nama baik (online defamation) dan ujaran kebencian (hate speech).
Fajar berpandangan bahwa masih terdapat definisi yang terlalu luas terkait dengan tindakan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan opini berupa kritik dalam media sosial.
“Hampir 120 orang memperoleh peringatan mengenai konten-konten yang mereka publikasikan di sosial media pada kuartal kedua tahun 2021,” ungkap Fajar.
Peristiwa tersebut mengakibatkan beberapa masyarakat pengguna media sosial merasa ragu untuk mengungkapkan opini mereka di dunia siber.