Industri tembakau di Indonesia kembali menghadapi tekanan berat dengan adanya dorongan untuk mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), kebijakan global yang diprakarsai oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menggodok Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengarah pada pengendalian ketat terhadap produk tembakau. Langkah ini menuai reaksi keras dari para pelaku industri, mulai dari petani hingga pekerja pabrik, yang menilai aturan ini bisa mengancam keberlangsungan mata pencaharian mereka.
Salah satu poin kontroversial dalam rancangan aturan ini adalah rencana penerapan kemasan polos (plain packaging) yang melarang penggunaan logo dan identitas merek pada bungkus rokok. Menurut Muhammad Sirod, Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), kebijakan ini akan berdampak luas terhadap industri percetakan, pemasaran, dan distribusi produk tembakau. “Industri ini memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Jika regulasi ini diterapkan, dampaknya akan sangat merugikan ekonomi nasional,” ungkapnya.
Di Indonesia, tembakau bukan sekadar produk konsumsi, tetapi juga komoditas utama yang menopang kehidupan jutaan petani dan pekerja di sektor manufaktur. Data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menunjukkan bahwa lebih dari enam juta orang bergantung pada industri ini, mulai dari petani hingga pekerja di pabrik rokok. Sekretaris Jenderal APTI, Kusnadi Mudi, menyatakan bahwa tekanan internasional untuk menerapkan regulasi ketat terhadap tembakau justru lebih menguntungkan negara-negara yang tidak memiliki industri tembakau. “Kita tidak bisa serta-merta mengikuti regulasi global tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian rakyat,” ujarnya.
Selain itu, penghapusan identitas merek pada kemasan rokok dipandang sebagai ancaman besar bagi industri percetakan dan pengemasan. Banyak usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergerak di bidang ini akan kehilangan pasar, yang berpotensi memperparah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara itu, di sektor manufaktur, ancaman serupa juga muncul, mengingat beberapa pabrik telah mengalami penurunan produksi akibat ketidakpastian regulasi.
Di tengah tekanan ini, sektor tembakau justru terus memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara. Berdasarkan laporan terbaru, cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 96-97% dari total penerimaan negara dari sektor bea dan cukai. Dengan kontribusi sebesar itu, banyak pihak mempertanyakan kebijakan pengendalian ketat yang berpotensi melemahkan industri ini. “Jika industri tembakau terganggu, pemasukan negara dari cukai juga akan terdampak, dan ini bisa berdampak pada berbagai program pembangunan,” tambah Kusnadi.
Pelaku industri berharap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dapat mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada perekonomian nasional. Mereka menilai, kebijakan yang terlalu ketat terhadap industri tembakau tidak sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kusnadi menegaskan bahwa industri tembakau telah menjadi bagian dari sejarah ekonomi Indonesia dan harus dilindungi. “Pemerintah harus mempertimbangkan dampak ekonomi sebelum mengambil keputusan terkait regulasi yang akan diberlakukan,” ujarnya.
Dengan meningkatnya tekanan regulasi, masa depan industri tembakau di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Apakah pemerintah akan tetap melanjutkan kebijakan pengendalian ketat atau mencari jalan tengah yang tidak mengorbankan mata pencaharian jutaan rakyat? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah industri tembakau di Tanah Air dalam beberapa tahun ke depan.