Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 berdampak pada kelebihan pembayaran pajak senilai Rp16,5 triliun di tahun 2024. Akibatnya, penerimaan pajak dalam dua bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dengan total penerimaan sebesar Rp187,8 triliun hingga akhir Februari 2025. Hal ini terjadi karena banyak wajib pajak mengklaim kembali kelebihan pembayaran pajaknya pada Januari dan Februari 2025.
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menjelaskan bahwa meskipun terlihat terjadi penurunan, sebenarnya ini merupakan dampak dari kebijakan TER yang diterapkan pada PPh 21. “Penerimaan di Januari-Februari itu seolah-olah turun, tapi sebetulnya itu adalah efek kebijakan TER atas PPh 21, yaitu pajak atas upah, gaji, dan honor karyawan serta pegawai. Apabila dinormalisasi, sebetulnya 2024 itu ada lebih bayar. Kalau kita hitung selisih di 2024, itu angkanya Rp16,5 triliun,” ungkapnya dalam konferensi pers APBN KiTa 2025 di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Anggito menambahkan bahwa tanpa adanya lebih bayar tersebut, penerimaan PPh 21 pada Januari dan Februari 2025 sebenarnya lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ia juga menekankan bahwa kebijakan TER PPh 21 merupakan sesuatu yang baru dan diterapkan untuk pertama kali pada tahun 2024. Oleh karena itu, penurunan penerimaan pajak yang tampak dalam laporan keuangan bukan disebabkan oleh pelemahan ekonomi, melainkan karena transisi kebijakan baru.
Dampak dari kebijakan ini juga tercermin dalam total pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 yang mengalami penurunan 20,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada Februari 2024 pendapatan negara mencapai Rp400,36 triliun, tahun ini angka tersebut turun menjadi Rp316,9 triliun.
TER PPh Pasal 21 sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2024. Sebelumnya, skema pemotongan PPh Pasal 21 dinilai terlalu rumit karena melibatkan banyak komponen yang harus dihitung oleh pemberi kerja, seperti tambahan penghasilan, pengurangan penghasilan, serta faktor-faktor lain yang memengaruhi besaran pajak setiap bulan. Kesalahan dalam perhitungan ini sering kali menyebabkan pemotongan pajak yang lebih besar dari seharusnya, sehingga banyak wajib pajak harus mengajukan klaim pengembalian.
Dengan diberlakukannya kebijakan TER PPh 21, pemerintah berharap proses perhitungan pajak menjadi lebih sederhana dan praktis, baik bagi pemberi kerja maupun karyawan yang terkena pajak. Meski sempat menimbulkan fluktuasi dalam laporan penerimaan pajak, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang dalam sistem perpajakan Indonesia.
Ke depan, Kemenkeu akan terus memantau dampak kebijakan TER PPh 21 terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan. Pemerintah juga mengimbau para wajib pajak agar memahami sistem baru ini dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam perhitungan pajak yang harus dibayarkan.