Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya menyatakan, moratorium pengiriman pekerja migran menghambat kontribusi remitansi terhadap perekonomian nasional, sehingga moratorium itu layak untuk dievaluasi.
“Remitansi yang dihasilkan para pekerja migran mampu menjalankan roda perekonomian,” kata Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Kamis.
Mercyta mengingatkan, berdasarkan data Bank Dunia, total remitansi pekerja migran Indonesia pada 2016 mencapai 8,9 miliar dolar AS atau sama dengan Rp118 triliun.
Jumlah tersebut, lanjutnya, setara dengan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Melihat potensi ini, ia menilai pemerintah sebaiknya mengevaluasi pemberlakuan moratorium.
Hal itu, ujar dia, karena remitansi yang dikirim ke desa-desa berdampak signifikan bagi pertumbuhan inklusif dan memberikan kesempatan bagi desa tersebut untuk berkembang.
“Remitansi dari pekerja migran ini mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat pra sejahtera yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Uang remitansi digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pendidikan, wirusaha dan juga untuk biaya kesehatan,” jelas Mercyta.
Menurut dia, pemberlakuan moratorium pengiriman pekerja migran ke 19 negara Timur Tengah yang diberlakukan sejak 2015 mengakibatkan kerugian besar dari sisi ekonomi.
Mercyta juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya kebijakan ini maka sama saja akan mendorong para calon pekerja migran untuk menempuh cara ilegal.
Hal ini dinilai akan membuat mereka rawan menjadi korban perdagangan manusia atau berbagai bentuk kejahatan lainnya.
ANT/Edgar