Infobisnis.id – Gedung Balai Pustaka, Jakarta Timur, menjadi saksi diskusi hangat mengenai Ekonomi Konstitusi, khususnya terkait koperasi dalam era digital seperti saat ini. Bertempat di Café Sastra, Komunitas Jakarta Tersenyum, bekerjasama dengan Miria Legal Research mengadakan seminar tentang Peran Koperasi Dalam Sistem Ekonomi Konstitusi Dalam Tantangan Persaingan Usaha pada Era Digital. Acara ini mendapuk Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof Sri Edi Swasono sebagai pembicara, serta Rian Hidayat sebagai moderator utama, dan dihadiri perwakilan koperasi-koperasi se jabodetabek, serta mahasiswa dan masyarakat umum.
Prof Sri Edi Swasono menerangkan bahwa konsep persaingan sebetulnya tidak terlalu baik, yang baik sebetulnya adalah konsep kerjasama. Karena jika kerjasama, tidak ada jatuh menjatuhkan. Namun jika persaingan, maka yang terjadi adalah saling menjatuhkan, selalu ada yang menang dan ada yang kalah.
“Tidak tepat konsep persaingan itu, yang tepat adalah konsep kerjasama karena jangan sampai ada yang kalah lalu disisihkan. Kerjasama itu jika ada yang jatuh, ya harus dibangun kembali,” terang Sri Edi Swasono dalam seminar tersebut.
Prof, Sri Edi Swasono juga menerangkan tentang pentingnya membangun kedaulatan ekonomni berdasarkan kerjasama, karena Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama yang berdasarkan asas kekeluargaan. Sehingga seharusnya memang yang dikedepankan itu bukan persaingan, akan tetapi kekeluargaan, kerjasama.
“Di negara jepang itu, kalau di dalam negerinya, mereka mengedepankan gotong royong, namun jika di luar wilayah jepang, mereka bersaing dengan badan usaha lain dari negaranegara saingan. Pasal 33 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan asas kekeluargaan, itu kan gotong royong juga. Harusnya yang dibangun itu, gotong royong, bukan persaingan, tapi kekeluargaan, dengan bekerjasama,” tambah Sri Edi Swasono yang masih aktif mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Menurut pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, Pasal 33 UUD 1945 sering kali diartikan secara gramatikal, dan sering jarang diterapkan. Bahkan, menurutnya, penggunaan Pasal 33 itu seringkali hanya ditulis pada konsideran undang-undang atau dalam pidatopidato namun impelementasinya jarang direalisasi.
“Kita punya Konstitusi Ekonomi yang pada dasarnya mengatur tentang sistem perekonomian Indonesia dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 45. Banyak sekali kalau ditelusuri peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45 ini,” terang pendiri sekaligus mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pertama.
“Maka, konstitusi itu tidak dapat diartikan hanya secara gramatikal, harus diukur kedalaman maknanya. Oleh karena itu, perlu ada implementasi teknis untuk menerapkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dan Gerakan Koperasi lah yang menurut saya paling tepat untuk menjalankan pasal 33 ini. Tapi ketika realisasi itu tidak berjalan semestinya, maka gerakan koperasi juga banyak yang tidak berkembang di Indonesia.” Tambah Jimly.
Jimly, yang saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Provinsi DKI Jakarta, mengatakan, perlunya pengkajian ulang mengenai format koperasi, termasuk juga mengenai visi dan misi koperasi, serta konsep gerakan koperasi yang perlu direkonstruksi idenya.
“Saya pikir kita perlu menemukan format baru dan cara berfikir yang berubah mengenai implementasi dari Pasal 33 ini. Koperasi sebagai Insititutional economics harus diperkuat, dibina, dan disebarluaskan pemikirannya. Era digital saat ini menguntungan bagi koperasi, harusnya bisa diselaraskan dengan koperasi, bisa saja kita melakukan pengkajian ulang mengenai format koperasi, visi misi dan lain-lain. Konsep gerakan koperasi saya rasa perlu direkonstruksi idenya. Agar sesuai dengan amanat konstitusi kita.”
Ketika ditanya mengenai Undang-undang Perkoperasian yang kemarin sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jimly menerangkan bahwa dirinya belum membaca secara detail tentang rancangan undang-undang yang baru, dan beliau belum mengikuti perkembangan pembahasannya karena hal itu menjadi ranah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Akan tetapi, jimly menerangkan bahwa dirinya siap apabila diminta untuk ikut mewakili kepentingan gerakan koperasi dalam membahas rancangan undang-undang yang baru.
“Sebagai anggota DPD-RI, saya sepertinya tidak bisa terlalu dalam ikut membahas rancangan undang-undang perkoperasian, karena itu ranahnya DPR-RI, tapi jika diamanatkan oleh gerakan koperasi, saya mau ikut membantu, setidaknya ada dua stakeholder yang bisa ikut membahas, Dekopin dan Kementerian Koperasi. Bisa dari dua elemen itu. Banyak yang tidak mengetahui bahwa saya terlahir dari gerakan koperasi, sebelum saya mendalami tata negara, saya sering bekecimplung dalam gerakan koperasi. Jadi setidaknya saya memahami tentang gerakan koperasi ini dan apa yang harus diperbuat,” ujar Jimly yang pernah didaulat sebagai Ketua Badan Komunikasi Pemuda Koperasi DEKOPIN Pusat.
Rian Hidayat pada sesi terakhir menyampaikan bahwa koperasi membutuhkan sistem kepatuhan dalam hukum persaingan usaha, mengingat saat ini terdapat 8 perkara yang melibatkan koperasi dalam perkara di KPPU RI.
Menurut Rian, dengan adanya Undangundang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, memaksa koperasi harus memahami secara mendalam mengenai bentuk aktivitas bisnis yang dilarang oleh otoritas persaingan usaha.
“Yang jadi permasalahan adalah, ketika manajemene koperasi masih menganggap aktivitas koperasi itu hanya seputar undang-undang koperasinya saja, seolah-olah dikecualikan dari ketentuan perundang-undangan lain seperti mengenai persaingan usaha tadi. Padahal yang dikecualikan hanya terkait dengan pelayanan yang hanya kepada anggota koperasi saja, tapi seharusnya praktek bisnisnya sama saja dengan badan usaha lain,” Ujar Rian Hidayat, peneliti dari Miria Legal Research.
Rian menambahkan jika dirinya setuju bahwa asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional itu wujudnya adalah koperasi, namun dirinya mengatakan bahwa hukum positif tentang undang-undang No. 5 tahun 1999 mengharuskan koperasi untuk memahami kaidah kaidah yang diawasi otoritas persaingan usaha, yaitu dengan mengadakan program kepatuhan terhadap hukum persaingan usaha.
“Saya setuju koperasi adalah perwujudan dari asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional, tapi perlu diingat bahwa ada hukum positif lain seperti UU No. 5 tahun 1999 yang mengharuskan koperasi untuk memahami kaedah-kaedah tentang persaingan usaha. Harusnya perlu diadakan program kepatuhan terhadap hukum persaingan usaha, agar dapat memberikan rasa aman bagi koperasi dalam menjalankan aktivitas bisnis dan dapat meminimalisir biaya yang dibutuhkan dalam proses litigasi,” tambah Rian yang juga menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Seminar ini dimulai pukul 9.00 waktu Indonesia bagian barat, dan berakhir pada pukul 16.00, diakhiri dengan sesi Tanya jawab dan foto bersama. Di akhir acara, perwakilan dari Induk Koperasi dan Pengurus Dewan Koperasi Indonesia menyampaikan aspirasinya kepada Jimly Asshiddiqie untuk berkenan kembali mengurus koperasi dengan harapan bahwa koperasi akan kembali menjadi roda penggerak perekonomian bangsa yang mengedepankan kerjasama demi kepentingan bangsa dan negara.
“Yang harus diutamakan dalam gerakan koperasi itu adalah membangun manusianya. Di sektor pertanian misalnya, yang harusnya dibangun itu adalah petaninya, bukan pertaniannya. Dengan membangun petani-petani Indonesia, maka dengan sendirinya pertaniannya akan terbangun. Ada banyak ide, konsep, yang ada di kepala saya tentang bagaimana koperasi bisa menjadi besar dan berpengaruh. Kalau saya diberi amanat, insya Allah saya siap berbuat banyak,” Jawab Jimly sebagai jawaban penutup seminar.