Infobisnis.id – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akhirnya mengubah aturan terkait impor barang kiriman lewat e-commerce guna menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan lindungi industri kecil dan menengah di dalam negeri. Hal tersebut juga untuk menjawab permintaan dari beberapa asosiasi, antara lain Asosiasi IKM, Masyarakat Industri, Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Sekadar informasi, berdasarkan catatan dokumen impor, sampai saat ini kegiatan e-commerce melalui barang kiriman di Tanah Air mencapai 49,69 juta paket pada tahun 2019 meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya sebesar 19,57 juta paket pada tahun 2018 dan 6,1 juta paket pada tahun 2017 atau tumbuh sebesar 254% dibanding tahun 2018 dan 814% dibandingkan tahun 2017.
Guna menciptakan level playing field, Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian nilai pembebasan (de minimis) atas barang kiriman dari sebelumnya USD 75 menjadi USD 3 per kiriman (consignment note) untuk bea masuk.
Sedangkan pungutan Pajak Dalam Rangka Impor diberlakukan normal (tidak ada batas ambang bawah/de minimis). Namun demikian pemerintah juga membuat rasionalisasi tarif dari semula total ± 27,5% – 37,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 10% dengan NPWP atau PPh 20% tanpa NPWP) menjadi ± 17,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 0%).
Selanjutnya pemerintah juga memperhatikan masukan khusus yang disampaikan oleh pengrajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri yang mengakibatkan produk mereka tidak laku seperti tas, sepatu, dan garmen.
Seperti diketahui beberapa sentra-sentra pengrajin tas dan sepatu banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk dari China. Untuk menjawab hal tersebut, dalam aturan baru ini pemerintah secara khusus membedakan tarif atas produk tas, sepatu dan garmen.
Sehingga, khusus untuk tiga komoditi tersebut, tetap diberikan de minimis untuk bea masuk sampai dengan USD 3 dan selebihnya diberikan tarif normal (MFN), yaitu:
• Bea Masuk untuk tas 15% – 20%, sepatu 25% – 30%, produk tekstil 15% – 25%.
• PPN 10%
• PPh 7,5% – 10%
Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan, kebijakan ini diambil untuk menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level playing field antara hasil produksi dalam negeri yang produknya mayoritas berasal dari IKM dan dikenakan pajak dengan produk-produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasaran.
“Pertimbangan ini diambil berangkat dari masukan beberapa asosiasi IKM, Kementerian Perindustrian, asosiasi forwarder (ALFI), dan pengusaha retail atau distributor offline,” ungkap Heru.
Penyesuaian de minimis value sebesar USD 3 dengan mempertimbangkan nilai impor yang sering di-declare dalam pemberitahuan impor barang kiriman (CN/Consigment Note) adalah USD 3,8 per CN.
Kebijakan ini juga akan diiringi dengan ketentuan impor barang e-commerce dengan menggandeng platform marketplace untuk bersinergi dengan bea cukai dalam rangka transparansi.
Skema ini akan memungkinkan platform marketplace mengalirkan data transaksi e-commerce ke sistem Bea Cukai secara online sehingga mampu menghilangkan praktik under invoice dan mengurangi missdeclaration dalam pemberitahuan barang kiriman.
Heru menegaskan, dalam menyusun perubahan aturan ini, BKF, Pajak dan Bea Cukai telah melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan peraturan yang inklusif serta menjunjung tinggi keadilan dalam berusaha.
“Perubahan aturan ini merupakan upaya nyata Kementerian Keuangan untuk mengakomodir masukan dari para pelaku industri dalam negeri khususnya IKM, untuk mengeliminasi kesenjangan antara produk dalam negeri yang membayar pajak dengan produk impor yang masih membanjiri pasaran Indonesia. Sehingga diharapkan dengan adanya aturan ini, fasilitas de minimis value benar-benar dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan dapat mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri,” pungkas Heru. (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)