Infobisnis.id – Menyikapi fenomena kehadiran ular belakangan ini di sekitar pemukiman khususnya di wilayah Jakarta, Balai KSDA DKI Jakarta bekerja sama dengan Direktorat KKH, Ditjen KSDAE, belum lama ini menggelar kegiatan koordinasi dan diskusi penanganan ular di pemukiman masyarakat di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan sekitarnya.
Kegiatan ini dilaksanakan di TWA Angke Kapuk dengan menghadirkan stake holder terkait dan komunitas reptile/ular di Jakarta dan sekitarnya. Instansi dan komunitas yang hadir dalam diskusi antara lain dari Dinas Kehutanan Provinsi, Kepala Seksi Wilayah II BKSDA DKI Jakarta sekaligus Penanggung Jawab Unit Tempat Penitipan Sementara (TPS) Satwa, Satgas Polhut BKSDA DKI Jakarta, Komunitas Pecinta Reptil Jakarta, Komunitas Taman Belajar Ular, Dekat bareng Ular, Observer Reptil Tangerang, dan komunitas ASPERA.
Kegiatan ini salah satunya bertujuan untuk menyamakan persepsi terkait dengan fenomena tentang kehadiran ular di tengah-tengah masyarakat yang marak dalam berbagai pemberitaan.
“Kemunculan ular terjadi karena siklus tahunan, kebetulan tahun ini cukup banyak disebabkan faktor cuaca yang berkepanjangan sehingga tingkat keberhasilan penetasan telur kobra mulai bulan Desember hingga Februari nanti cukup tinggi,” ungkap Kepala Balai KSDA DKI Jakarta Ahmad Munawir.
Lebih lanjut beliau menyampaikan agar semua pihak khususnya media cetak/elektronik tidak menganggap ini sebagai sebuah teror namun diperlukan edukasi dan pemahaman dalam hal penanganan ular khususnya kobra.
“KLHK melalui BKSDA memiliki perhatian terhadap TSL, termasuk juga ular yang saat ini menjadi pemberitaan yang marak. Upaya sosialisasi tentang handling ular terus diupayakan baik secara langsung maupun melalui media-media sosial.
Pihak kami (BKSDA DKI Jakarta) banyak mendapat laporan terkait kemunculan ular yang marak dan Polhut kami siap mengevakuasi (rescue) khususnya jika ular tersebut termasuk yang dilindungi. Kami juga menjalin kerjasama dengan komunitas pecinta ular untuk membantu evakuasi ular tersebut jika diperlukan,” tambahnya.
Sementara itu, Direktorat KKH melaui Kasbudit Sumber Daya Genetik, Muhammad Haryono menyampaikan perlunya kerjasama dan sinergi yang erat antara BKSDA DKI Jakarta dan instansi terkait. Selain itu Haryono menyampaikan sifat ekologis dari satwa.
“Perlu diketahui bahwa jumlah populasi satwa tidak statis. Faktor lingkungan, keberadaan pakan, dan predator menjadi faktor yang berpengaruh terhadap suatu populasi. Faktanya saat ini faktor tersebut mempengaruhi peningkatan populasi ular khususnya ular kobra,” ujar Haryono.
Ular-ular yang dievakuasi BKSDA maupun komunitas setelah ditampung dalam tempat evakuasi sementara selanjutnya dapat dikembalikan ke alam/habitat alaminya.
“Namun perlu diingat syarat yang diperlukan agar dilepaskan ke alam: habitat tujuan terdapat jenis ular yang dilepaskan, kondisi ular sehat dan tidak membawa penyakit; serta habitatnya cocok secara ruang maupun pakan. Selain itu diperlukan juga monitoring terhadap ular,” tambahnya lagi.
Menanggapai tempat pelepasliaran, Munawir menyampaikan salah satu lokasi pelepasliaran ular. “Tempat pelepasliaran bagi ular sudah disiapkan di kawasan TN Gunung Halimun Salak setelah melalui berbagai kajian”, pungkas Munawir yang juga saat ini juga menjabat Plt Kepala Balai Gunung Halimun Salak.
Dalam diskusi ini, beberapa komunitas menyampaikan laporan dan pendapatnya. Igor dari Komunitas Taman Belajar Ular menyampaikan bahwa ditahun 2019 sampai dengan November mendapat 270 kasus/laporan tentang ular. “pada Bulan Desember saja, di wilayah Jabodetabek kami mendapat 81 laporan dimana 50 nya diatasi”, ujarnya.
Mendukung pendapat dari Haryono, Igor menyatakan bahwa saat ini sudah semakin jauh berkurangnya predator ular seperti musang, burung hantu, biawak ataupun garangan.
Elang yang tergabung dalam komunitas yang sama mengungkapkan bahwa kemunculan ular khususnya baby Cobra pada bulan November sampai dengan Januari sudah terjadi sejak tahun 2014 dan terjadi setiap tahun. “Ular suka di tempat yang lembab, banyak tumpukan barang baik kayu, ranting, kardus, ataupun ilalang” pungkasnya.
Sementara itu, Novandri dari komunitas Dekat Bareng Reptil mendapat 11 laporan dimana 7 yang sudah berhasil direscue dan sebagian besar juga jenis baby cobra.
“Kenapa tidak semua laporan dapat direscue karena terkadang laporan yang disampaikan terlalu lama sedangkan sifat ular akan selalu bergerak mencari tempat yang aman”, ujar pemuda yang selalu bertopi ini. Dia menambahkan bahwa banyak kasus, penemuan kasus dilaporan oleh PPSU sehingga dibutuhkan edukasi dan training bagaimana penanganan ular yang benar bagi mereka.
Pemerhati Aspera, Ave menyoroti habitat satwa termasuk ular yang tergerus karena pembangunan pemukiman dan sarpras lainnya. Dia menambahkan terkait tata kelola penanganan korban gigitan ular yang perlu diperbaiki.
“Sebaiknya Serum Anti Bisa Ular (SABU) yang sudah tersedia di beberapa rumah sakit yang mendatangi/dikirim ke korban bukan sebaliknya untuk efektifitas waktu” ujar pria plontos ini.
Koordinasi dan diskusi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang benar terkait dengan pemberitaan kemunculan ular yang marak belakangan ini.
Fenomena ini merupakan hal yang sudah menjadi siklus tahunan namun masyarakat diharapkan waspada khususnya untuk menjaga tempat tinggalnya tidak menjadi “rumah ideal” bagi tumbuh kembang ular.
Selain itu penanganan yang tepat terhadap ular melalui edukasi maupun pelatihan sangat diperlukan oleh pihak yang berkualifikasi baik itu BKSDA maupun komunitas pecinta ular. (Sumber: Humas KLHK)