Infobisnis.id – Hujan yang mengguyur Ibu Kota di awal tahun ini dikategorikan sebagai curah hujan terkestrim selama 186 tahun terakhir. Akibatnya banjir di sejumlah daerah di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok dan sekitarnya.
Bahkan banjir, kali ini bukan hanya terjadi di kawasan perumahan kumuh dan padat penduduk, tetapi juga terjadi di kawasan permukiman menenangah elite.
Dani Muttaqin, Ketua IAP DKI Jakarta, berpandangan bahwa ancaman curah hujan yang ekstrim perlu dihadapi dengan penanganan yang ekstrim dan radikal pula.
Untuk menyelesaikan permasalahan banjir Ibu Kota kapasitas penanganan banjir saat ini belum memadai, padahal curah hujan ekstrim di awal tahun 2020 kemarin adalah the new normal (standar baru) yang tidak mustahil akan terjadi dalam periode waktu dekat dimasa mendatang yang salah satunya diakibatkan fenomena perubahan iklim dan tekanan penduduk yang semakin menguat di kawasan Metropolitan Jabodetabek.
R (risk) = H (hazard) . V (vulnerability) / C (capacity)
Secara akademis, resiko bencana (R) bergantung pada besarnya ancaman (H) dan kerentanan (V) yang berbanding terbalik dengan kapasitas, baik kapasitas struktur, non-struktur, maupun regulasi maupun tata kelola (C).
Dengan semakin tingginya ancaman bencana lewat curah hujan yang semakin ekstrim dan kerentanan wilajah Jakarta yang berada dibawah permukaan laut, maka kapasitas penanggulangan harus semakin besar.
“Perlu ada peningkatan kapasitas penanganan bencana yang ekstrim dan radikal untuk menanggulangi banjir di Jakarta”, ujar Dani dalam keterangan tertulisnya. Adapun yang dimaksud dengan kapasitas penanganan bencana ialah mencakup penanganan struktur, nonstruktur, regulasi dan tata kelola.
Dari kajian IAP DKI sebagai organisasi profesi perencana kota, langkah ekstrim yang diperlukan untuk meningkatan kapasitas penanggulangan banjir antara lain:
Di bagian hulu, pembangunan waduk Ciawi dan waduk Sukamahi dengan kapasitas 6,45 juta m3 dan 1,65 juta m3. Total kapasitas kedua waduk tersebut baru bisa menampung sekitar 30% aliran air yang mengarah ke Jakarta sehingga masih dibutuhkan adanya tambahan pembuatan sumur resapan. Untuk meresapkan sisa air dari hulu dibutuhkan sekitar ±192.513 buah sumur resapan.
Pembangunan sumur resapan sebanyak itu diperkirakan memerlukan luas permukaan sebesar 76 Ha yang dapat menggunakan lahan-lahan kosong, sempadan ataupun halaman bangunan fasos fasum di bagian hulu Jakarta.
Di bagian tengah dan hilir, pembangunan Sodetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) mutlak harus segera dilakukan, agar aliran air di Sungai Ciliwung dapat terpecah mengalir ke KBT. Sehingga aliran sungai dari Ciliwung bisa bergerak ke barat dan timur, tidak menumpuk dan terhenti di bagian tengah.
Di bagian tengah juga, sistem dan kapasitas drainase yang ada di Jakarta sudah tidak memadai lagi, karena itu harus ada water management system yang handal dan optimal. Semua drainase baik saluran drainase mikro lingkungan maupun drainase makro harus dibenahi sehingga terkoneksi dan dapat berfungsi dengan baik.
Dani mengingatkan pentingnya water management system untuk mengalirkan air di system internal kota yang dianggap sudah diabaikan selama beberapa tahun terakhir.
Terakhir, peningkatan kapasitas non-struktur dan regulasi dapat dilakukan dengan penataan kawasan hulu dengan segera menetapkan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabek yang sedang direvisi, pengendalian pembangunan di kawasan hulu, maupun insentif kompensasi pembangunan di kawasan hulu.
“Pembangunan di Puncak maupun kawasan hulu lainnya berdampak pada Penerimaan Daerah, perlu dipikirkan langkah insentif dan kompensasi yang jelas untuk moratorium pembangunan di hulu”, ujar Dani.
Lebih lanjut, di tengah dan hilir, Dani juga menyarankan untuk melakukan konsolidasi lahan maupun penertiban bangunan di sekitar aliran sungai, penambahan Ruang Terbuka Hijau dan taman yang berfungsi sebagai sebagai rainwater collecting/ waterpark, seperti yang telah dilakukan misalnya di kota Rotterdam Belanda.
Kapasitas tata kelola perkotaan pun harus ditingkatkan ke level metropolitan governance yang mengedepankan kerjasama lintas administrasi di Jabodetabek dan pemerintah pusat. Menurut Dani meskipun hujan terus mengguyur Jakarta dan sekitarnya, tetapi justru ‘suasana’ terasa lebih ‘panas’.
“Para pengambil keputusan di Pusat maupun Jakarta harus bisa menahan ego masing – masing untuk mendinginkan suasana. Harus terjalin kolaborasi yang kompak antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antar Daerah dengan Daerah, dan antar kelompok masyarakat, agar bencana banjir dapat teratasi dengan baik.