Pengendalian tembakau yang efektif, dimanapun di dunia ini hanya mungkin ketika pemerintah memiliki pandangan yang sama tanpa pretensi, bahwa konsumsi adiktif dalam tembakau adalah masalah. Mulai kesehatan, merusak pertumbuhan otak remaja, kemiskinan, kurang gizi pada bayi, beban biaya sakit dan kematian dini.
Negara dan setiap sektor pemerintah harus melihat ini sebagai masalah yang relevan menyangkut kualitas bangsa yang harus diatasi bersama.
Caranya? Dengan pengendalian tembakau. Alasannya jelas. Secara hukum produk hasil tembakau diakui oleh UU No 39 Tahun 2007 Pasal 2 sebagai bukan barang normal dan karenanya dikenai cukai untuk mengendalikan konsumsi.
Pengendalian bukan berarti larangan berusaha. Ada 4 cara pengendalian yang harus berjalan sinkron. Harga, cukai, iklan/promosi/sponsor, peringatan kesehatan bergambar dan kawasan tanpa rokok (KTR).
Kenaikan tarif cukai yang masih membuat harga rokok terjangkau, tentu tidak efektif menurunkan konsumsi. Ukurannya adalah tingkat keterjangkauan terutama oleh kelompok rentan: miskin dan remaja.
Tidak terjangkau tapi akses mudah dan bisa dibeli batangan ditambah iming-iming iklan yang masif, akan tetap membuat pelaku bisnis mengeruk keuntungan dari ketagihan konsumen.
Pebisnis tidak punya punya empati, tidak ada memiliki kasihan terhadap remaja dan orang miskin. Sudah miskin, tidak berdaya karena ketagihan, masih disuruh membeli rokok.
Sementara pemerintah dihambat membuat aturan yang mengurangi orang membeli rokok. Industri semestinya tidak perlu khawatir. Harga naik tidak akan membuat usaha bangkrut, karena rokok adalah komoditas yang inelastis.
Problem Vape
Terkait vape, industri adiktif selalu jeli melihat peluang bisnis adiktif yang untungnya besar dan cepat. Apalagi ada kesempatan menggunakan pesan kesehatan seolah aman dan jadi alternatif. Di Indonesia yang aturannya lemah, orang mudah tergiur produk baru tanpa kritis.
Rokok elektrik belum terbukti aman dikonsumsi karena menyisakan bahan-bahan racun walaupun dipanaskan. Klaim rokok elektrik 95% lebih aman oleh studi di Inggris telah dibantah oleh BMJ British Medical Journal, editorial Lancet dan APHA American Public Health Assistant. Bahkan diakui kelemahannya oleh penelitinya sendiri di bagian akhir laporannya.
42 negara sudah melarang vape. Pemerintah Singapura bahkan mengatakan tidak akan mengulang kesalahan di awal epidemi tembakau. Mumpung belum terlanjur, demi melindungi rakyatnya, pemerintah Singapura melarang total sampai terbukti aman.
Apakah betul produk alternatif pengganti rokok atau bisnis murni? Saya ragu dan tidak percaya. Bisa dicek pernyataan BAT dan Philip Morris International di berbagai dokumen luar negeri.
Tetapi untuk Indonesia, studi pendaftaran merek yang dilakukan Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA) pada 3 industri multinasional yaitu PMI, BAT dan JTI selama 2015-2019 menunjukkan bahwa kendati mereka ingin mengalihkan ke produk baru dengan klaim lebih aman, yang logikanya menurunkan penjualan rokok konvensional, terbukti dari 57 pendaftaran merek baru, 41 adalah varian rokok konvensional dan 16 adalah varian rokok elektronik baik ENDS (likuid nikotin) maupun HTP (batang rokok yang dipanaskan).
Ini menjadi bukti, industri menjalankan bisnis ganda. Dan sementara cukup berhasil. Konsumsi rokok elektronik pada remaja naik dari 1,2% tahun 2016 jadi 10,9% tahun 2018, hampir 10 kali lipat dalam 2 tahun tanpa pengawasan isi produk yang dikonsumsi bersamaan dengan kenaikan prevalensi rokok konvensional dari 7.2% di 2013 menjadi 9.1% tahun 2018.
Siapa yang bertanggung jawab melindungi anak bangsa.
**
Disarikan dari wawancara redaksi dengan Widyastuti Soerojo, SEATCA Coregroup Indonesia dan Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau