Infobisnis.id – Jumlah kasus positif Corona (COVID-19) di Tanah Air mencapai angka 2.273. Dari jumlah tersebut, ada sekelumit kisah pasien Corona yang bikin heboh.
Berdasarkan John Hopkins Coronavirus Resources Center, per Senin 6 April 2020 pukul 7:24 am, tercatat 2.273 kasus positif, 164 sembuh, dan 198 meninggal.
Pemerintah terus berupaya melakukan beragam cara untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Secara global, kematian akibat Covid-19 tercatat sudah sebanyak 69.444 jiwa. Adapun pasien Covid-19 yang berhasi sembuh di seluruh dunia sejumlah 260.247 orang.
Fenomena pandemik Covid-19, dikategorikan sebagai bagian dari isu-isu global kontemporer. Para pakar kesehatan dunia menyebutkan bahwa Indonesia menghadapi lonjakan jumlah pasien.
Hingga hari ini, kasus positif Covid-19 sudah menyebar di 32 provinsi. Penambahan kasus masih terjadi di sejumlah provinsi, terutama di DKI Jakarta.
Empat provinsi lainnya yang masuk dalam daftar 5 besar daerah dengan jumlah kasus terbanyak adalah: Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dengan bertambahnya kasus pandemic ini dari hari ke hari, membuat masyarakat semakin resah, tanpa adanya pemahaman yang jelas mengenai virus Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Dr.rer.nat, Arli Aditya parkesit sebagai kepala Jurusan Bioinformatika Indonesia International Institute for Life Sciences (i3l) memberikan perspektif Bioinfromatika mengenai virus Covid-19.
1. Bagaimana analisis corona dari sudut pandang bioinformatics?
Virus Corona baru atau SARS-CoV-2 sebagai penyebab penyakit COVID-19 dapat dianalisis oleh ilmu bioinformatika dalam rangka mencari solusi untuk cetak-biru diagnostik, pengobatan, dan pencegahan dalam bentuk vaksin.
Dalam konteks diagnostik, yang dilakukan adalah navigasi ke basis data genome SARS-CoV-2 untuk mencari conserve region yang dapat dikembangkan sebagai marker untuk diagnosis molekuler. Kemudian, dalam konteks pengobatan, ada dua strategi yang dikembangkan oleh bioinformatisi.
Yang pertama adalah menggunakan basis data obat yang sudah ada, atau drug repurposing. Kemudian yang kedua adalah menggunakan basis data herbal, yang juga sudah banyak dikembangkan oleh China.
Terakhir, dalam konteks pengembangan vaksin, kita menggunakan metode immunoinformatika untuk mendesain vaksin generasi baru yang lebih aman karena materi genetikanya tidak diikutsertakan.
Pengembangan diagnosis, pengobatan, dan pencegahan dengan ilmu bioinformatika ini dimungkinkan dengan sudah tersedianya basis data urutan atau sekuens genome dan proteome virus SARS-CoV-2 di basis data genbank. Sementara itu, struktur 3D proteinnya tersedia di basis data RCSB/PDB (Protein Data Bank).
2. Apa yang harus dilakukan di saat situasi saat ini?
Secara umum, ikuti guidelines dari pemerintah yang dibenchmark ke SOP WHO, seperti physical distancing, rajin cuci tangan, pakai masker, dan lainnya. Jangan pergi ke rumah sakit jika tidak sakit berat, dan terutama ikuti petunjuk dari RT/RW terkait pengamanan wilayah masing-masing.
Dissenting opinion atau perbedaan pendapat terhadap ketentuan atau kebijakan pemerintah harap serahkan ke ahlinya, seperti pakar epidemiology/public health, dokter spesialis penyakit dalam dan paru, maupun ilmuwan yang bekerja di bidang terkait virologi seperti molecular pharmacology, biomedik dan bioinformatics.
Kami para bioinformatisi percaya bahwa segala sesuatu harus diserahkan pada ahlinya. Pemerintah dan swasta sudah membuka lowongan untuk volunteer terkait pengembangan diagnostic COVID-19, yang akan sangat baik jika diikuti oleh semua pihak terkait.
Kami sudah punya konsorsium keilmuan bioinformatika, yaitu MABBI (Masyarakat Bioinformatika dan Biodiversitas Indonesia). Dan konsorsium kami sekarang bekerja penuh waktu secara kolaboratif untuk menemukan metode diagnostic, pengobatan, dan pencegahan yang teroptimal terhadap SARS-CoV-2/COVID-19, dan I3L terlibat penuh di konsorsium tersebut.
3. Benarkah ada vaksin yang sedang diuji coba untuk menangkal Corona?
Memang sudah ada beberapa negara yang sedang mencoba mengembangkan vaksin, dan bahkan Pemerintah Indonesia sudah membentuk task-force untuk mengembangkan vaksin COVID-19.
Namun berdasarkan data pohon filogeni terakhir mengenai SARS-CoV-2, virus ini ternyata memiliki beberapa klaster, yang dimungkinkan berkembang menjadi beberapa subtype. Fenomena ini juga terjadi pada virus lain, seperti HIV, Flu, dan Dengue/DENV.
Konsekuensinya, desain vaksin kedepannya sangat mungkin harus membuat tulang punggung atau backbone yang dapat mengkover semua klaster, yang bukannya tak mungkin akan berkembang menjadi subtype sendiri.
Tantangan terbesar semua ini adalah materi genetic SARS-CoV-2 yang berupa RNA, sehingga sangat mudah bermutasi. Ini yang menyebabkan pengembangan vaksin sangat menantang, walaupun jika menggunakan ilmu bioinformatika dan instrument biomedis molekuler termutakhir, kemungkinan berhasil selalu ada.