Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menegaskan bahwa keputusan bank sentral untuk mempertahankan BI-Rate di level 5,75 persen sejalan dengan upaya menjaga inflasi tetap terkendali dalam target 2,5 persen ±1 persen untuk tahun 2025 dan 2026. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ke depan, BI akan terus memantau prospek inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam mempertimbangkan ruang penyesuaian suku bunga, dengan tetap memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah,” ujar Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Februari 2025 di Jakarta, Rabu (19/2).
Lebih lanjut, Perry menyampaikan bahwa kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Insentif likuiditas makroprudensial (KLM) ditingkatkan guna mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan ke sektor-sektor prioritas yang berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja, selaras dengan program Asta Cita Pemerintah.
Dalam hal sistem pembayaran, BI juga berfokus pada penguatan infrastruktur dan struktur industri guna memperluas akses digitalisasi pembayaran. Langkah ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan sektor perdagangan dan UMKM, sehingga lebih banyak pelaku usaha yang dapat mengadopsi transaksi digital.
Menurut Perry, kombinasi kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran ini merupakan bagian dari strategi BI untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus memperkuat momentum pertumbuhan berkelanjutan.
Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah penguatan strategi operasi moneter berbasis pasar guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, memperdalam pasar uang serta pasar valuta asing (valas), dan mendorong masuknya modal asing ke dalam negeri.
Selain itu, BI juga memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah agar tetap sesuai dengan fundamental ekonomi. Upaya ini dilakukan melalui intervensi di pasar valas, baik dalam transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Di sisi lain, BI juga memperluas instrumen penempatan serta pemanfaatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), sekaligus meningkatkan insentif KLM dari yang sebelumnya maksimal 4 persen menjadi 5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK).