Di tengah gejolak pasar saham yang semakin liar, investor perlu berpikir strategis dalam menata ulang portofolio mereka. Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan trading halt pada Selasa (18/3) setelah indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 5% dalam sehari. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa volatilitas pasar semakin tinggi dan strategi defensif perlu diterapkan oleh para pelaku pasar.
IHSG menutup perdagangan hari itu dengan penurunan tajam 248,56 poin atau 3,84% ke level 6.223,39. Tekanan jual yang tinggi menyebabkan investor asing menarik dana sebesar Rp 2,49 triliun dari seluruh pasar, dengan Rp 2,57 triliun berasal dari pasar reguler. Keesokan harinya, Rabu (19/3), IHSG sempat rebound 1,42% ke 6.311,66, tetapi secara year-to-date (YtD), indeks masih melemah 10,85%. Dana asing pun tetap keluar, mencapai Rp 910,33 miliar di seluruh pasar dan Rp 965,10 miliar di pasar reguler.
Penurunan terbesar sepanjang tahun ini terjadi di sektor Basic Materials, yang anjlok 19,98% YtD, disusul sektor infrastruktur yang turun 17,7% YtD, serta sektor transportasi dan logistik yang tergerus 14,95% YtD. Namun, ada satu sektor yang justru melawan arus, yakni teknologi, yang melesat 55,63% YtD, didorong oleh kenaikan luar biasa pada saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII).
Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Indonesia, Fath Aliansyah Budiman, menyoroti bahwa hingga saat ini aliran dana asing masih belum kembali ke pasar Indonesia. Tren net sell masih mendominasi, sementara pelaku pasar lebih fokus pada perubahan regulasi serta sentimen kebijakan yang dapat memengaruhi pergerakan bursa. “Pasar sejauh ini fokus dalam pergerakan jangka pendek dengan memperhatikan adanya perubahan regulasi maupun narasi yang dapat memberikan sentimen positif ke pergerakan bursa,” ungkapnya.
Meskipun kondisi pasar sedang goyah, bukan berarti investor harus menarik seluruh dana mereka dari pasar saham. Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto, menekankan bahwa saham tetap memiliki potensi keuntungan dalam jangka panjang. Ia meyakini bahwa koreksi tajam ini lebih bersifat sementara dan situasional, sehingga masih ada peluang bagi investor untuk kembali masuk di saat yang tepat. “Untuk jangka panjang, saham masih bisa menjanjikan, karena penurunan kemarin bersifat sementara dan situasional saja,” ujarnya.
Namun, bagi investor yang masih ragu dan ingin bermain lebih aman, mengalokasikan dana dalam bentuk kas atau deposito bisa menjadi pilihan bijak. Sementara itu, bagi yang mengincar aset dengan imbal hasil lebih tinggi, emas menjadi alternatif menarik karena sering kali dianggap sebagai safe haven di tengah ketidakpastian pasar. Menurut Eko, strategi ini masih relevan untuk diterapkan hingga akhir tahun 2025. “Emas tetap jadi alternatif, karena jadi safe haven. Deposito masih memungkinkan untuk menjaga cash. Sementara, tunda dulu investasi di saham dan properti,” jelasnya.
Eko juga memberikan saran kepada investor jangka panjang yang secara rutin berinvestasi. Menurutnya, mereka tak perlu terlalu khawatir dan bisa tetap mempertahankan strategi mereka. Namun, bagi yang ingin melakukan investasi dalam jumlah besar sekaligus (lumpsum), sebaiknya menahan diri terlebih dahulu sebelum masuk ke saham. “Kalau investasi untuk jangka panjang dan sifatnya rutin, tetap seperti biasa. Tapi kalau lumpsum, sebaiknya kurangi masuk ke saham,” paparnya.
Dalam situasi seperti ini, strategi yang tepat dan disiplin dalam pengelolaan portofolio menjadi kunci utama. Investor perlu tetap waspada dan mengikuti perkembangan pasar dengan cermat, karena peluang selalu muncul di tengah krisis bagi mereka yang mampu membaca momentum dengan baik