Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa aktivitas manufaktur global tengah mengalami pelemahan serius dan akan berdampak langsung pada Indonesia. Hal ini disebabkan oleh efek perang tarif dan meluasnya konflik global, termasuk ketegangan antara Israel dan Iran yang menyeret keterlibatan Amerika Serikat.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis malam (3/7/2025), Sri Mulyani menjelaskan bahwa kontraksi sektor manufaktur dunia mulai dirasakan oleh Indonesia. “Aktivitas manufaktur dunia memang melemah, dan ini akan kita rasakan juga di dalam negeri,” katanya.
Salah satu indikator pelemahan tersebut terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang sudah berada di bawah level 50 sejak Mei 2025, menandakan kondisi kontraktif. Di dalam negeri, PMI manufaktur Indonesia juga turun signifikan ke angka 46,9 pada Juni 2025, setelah sebelumnya berada di posisi 47,4 pada Mei.
Sri Mulyani menyatakan bahwa perdagangan dan investasi global cenderung terus melemah, seiring memburuknya iklim ekonomi internasional. Hal ini dinilai menjadi tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Dampak nyata mulai terlihat pada beberapa sektor industri domestik. Penjualan semen misalnya, mengalami fluktuasi tajam dengan penurunan 23,6% secara tahunan (yoy) pada Maret, melonjak 29,5% di April, lalu kembali turun 3,8% di Mei. Sementara itu, penjualan mobil juga anjlok cukup tajam pada Mei.
“Semua aktivitas manufaktur di Indonesia saat ini berada dalam zona kontraktif. Ini menunjukkan bahwa efek pelemahan global mulai masuk ke komponen pertumbuhan ekonomi kita,” ujar Sri Mulyani menekankan.
Selain tekanan dari sektor industri, risiko inflasi juga meningkat seiring lonjakan harga minyak dunia. Ketegangan militer antara Israel dan Iran yang didukung AS sempat menyebabkan harga minyak naik hingga 8% dalam waktu singkat, sebelum kembali turun secara bertahap.
Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah perlu mewaspadai kombinasi tekanan dari pelemahan global, kontraksi manufaktur, dan potensi lonjakan harga energi yang bisa menghambat stabilitas ekonomi nasional dalam beberapa waktu ke depan.